Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 129 articles
Browse latest View live

Kaleidoskop Konflik Agraria 2012: Potret Pengabaian Suara dan Hak Rakyat (Bagian 2)

$
0
0

KONFLIK-konflik agraria atau sumber daya alam (SDA) makin parah. Ketidakjelasan tata ruang termasuk penetapan kawasan hutan, sampai sikap pemerintah yang seakan membiarkan konflik, makin memperburuk keadaan. Perusahaan-perusahaan masuk ke wilayah-wilayah berpenghuni milik masyarakat adat atau lokal. Konflik antar warga, warga-perusahaan, warga-pemerintah, pun muncul. Masyarakat menjadi pihak yang paling banyak menanggung rugi.

Gesekan-gesekan berujung konflik pun terjadi. Sederet konflik SDA menyebabkan kerugian harta dan jiwa terjadi hingga penutup tahun ini. Data Walhi, menyebutkan, pada 2011, ada 8.307 kasus konflik agraria, 4302 kasus dinyatakan telah selesai.

Paling banyak konflik terjadi di Sumatera Barat 883 kasus, di Sulawesi Selatan 780, Jawa Barat 749, Jawa Tengah 532, Bali 515, Jawa Timur 400, Nusa Tenggara Timur 335, Sumatera Utara 331, Banten, 324, dan Kalimantan Timur 242 kasus. Berikut kami sajikan cuplikan sebagian kecil konflik agraria yang terjadi tahun ini.

Juli 2012

Petani Ogan Ilir kala aksi di BPN Jakarta. Anwar Sadath, koordinator lapangan mengatakan, perjuangan petani sejak dulu dilakukan dengan cara-cara damai. Namun, banyak yang berusaha melakukan provokasi dan pelemahan. Saat ini, terjadi bentrok antara petani dan polisi di Ogan Ilir, Walhi Sumsel, menduga, sebagai upaya mendiskreditkan warga. Foto: Sapariah Saturi

Potret konflik lahan pada bulan ini, diawali aksi sekitar 600 an petani dari Kebupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) yang datang ke Jakarta, mencari keadilan. Sejak tahun 1980 an tanah mereka diambil paksa dengan kekuatan militer kebun PTPN IV unit Cinta Manis.

Ke Jakarta, mereka membawa surat, BPN Sumsel yang menyatakan, areal PTPN VII di Ogan Ilir yang mempunyai hak guna  usaha (HGU) hanya 4.881, 24 hektare (ha). Izin prinsip mereka seluas 20 ribu ha. BPN tak akan memproses HGU  sebelum ada penyelesaian klaim dari masyarakat.

Surat yang menguatkan posisi warga juga keluar dari Gubernur Sumsel, 15 Juni 2012. Dalam surat yang ditandatangani Wakil Gubernur Sumsel, Eddy Yusuf ini meminta lahan PTPN VII yang telah diterbitkan HGU di unit usaha Cinta Manis agar dievaluasi. Lahan PTPN VII yang belum terbit HGU agar dikembalikan ke masyarakat. Dalam surat itu, Gubernur meminta agar Kementerian BUMN memperhatikan tuntutan para petani.

Sayangnya, setelah aksi dan berdialog di berbagai lembaga, seperti BPN, Mabes Polri, kesepakatan dengan Kementerian BUMN dan manajemen PT PN IV tak diperoleh. Warga pun pulang ke kampung dengan tangan hampa.

Masih di Sumatera, pada 11 Juli 2012, warga Desa Seunebok Lapang dan Desa Tualang Pateng, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur, menduduki kebun sawit PT Padang Palma Permai di Desa Blang Simpo. Aksi pendudukan kebun itu mereka lakukan sejak 1998. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan baik dari perusahaan maupun Pemerintah Aceh Timur.

Danau Rano, salah satu obyek wisata di sana juga masuk kawasan konsesi PT CMA. Foto: Jatam Sulteng

Konflik berdarah terjadi pada 18 Juli 2012. Warga menolak rencana eksploitasi tambang emas, PT Cahaya Manunggal Abadi (PT CMA) di Desa Balaesang Tanjung, Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng). Berujung, dua alat berat perusahaan dibakar. Rabu(18/7/12), polisi menelusuri desa untuk menangkap pelaku pembakaran. Warga menolak ditangkap. Lagi-lagi polisi mengandalkan peluru timah untuk menghadapi warga. Lima orang tertembak.

Begitu banyak konflik agraria, Presiden SBY membahas masalah ini dalam Sidang Kabinet Terbatas di Kejaksaan Agung, Rabu(25/7/12). SBY mengatakan, mendapatkan banyak aduan terkait persoalan pertanahan di tanah air. Aduan konflik lahan seperti tumpang tindih lahan datang hampir setiap minggu melalui surat atau pesan singkat.

Penanganan konflik lahan,  tidak semata-mata tugas kepolisian. Koordinasi dan sinergitas dengan BPN harus berlangsung baik. Selain itu, perangkat daerah seperti bupati atau camat dan semua jajaran harus bisa berkoordinasi untuk mencegah konflik.

SBY menyoroti seringkali pada kasus tertentu saat terjadi kekerasan horizontal di lapangan, kepolisian tidak mengambil tindakan cepat dan tuntas.

Sayangnya, omongan SBY tampaknya tak berarti apa-apa buat para pembantu dan aparatnya. Sebab, selang dua hari dari SBY pidato, konflik berdarah kembali terjadi di Ogan Ilir. Konflik PTPN VII unit Cinta Manis dan warga petani, memakan korban jiwa. Pasukan Brimob, 27 Juli 2012 datang menyisir ke kampung-kampung warga di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel). Bentrok warga dan polisi terjadi di Kampung Limbang Jaya menyebabkan,  satu anak tewas tertembak, lima warga luka-luka.

Kala itu, kondisi di sekitar PTPN VII unit Usaha Cinta Manis, mencekam. Aparat kepolisian menyisir ke Desa Lubuk Keliat, dan sempat  menangkap warga,  lalu dilepas. Penyisiran dilanjutkan ke Desa Betung ketika sejumlah warga sedang shalat Jumat.

Penyelusuran ke kampung-kampung berlanjut. Desa Sri Kembang.  Sekitar pukul 16.00, pasukan Brimob menyisir Desa Tanjung Pinang menuju Desa Limbang Jaya. Ratusan Brimob membawa senjata lengkap mengendarai sedikitnya tujuh truk kembali mendatangi Desa Limbang Jaya.

Agustus 2012

Di Sulawesi Tengah (Sulteng),  pada, 6 Agustus 2012,  puluhan petani yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat, berunjukrasa di kantor DPRD Sulteng di Palu.

Sebanyak 18 organisasi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR)  melihat konflik agraria yang terjadi disebabkan monopoli atas tanah yang dilakukan perusahaan perkebunan, tambang skala besar maupun institusi negara seperti Perhutani, perkebunan negara dan taman nasional.

Salah satu perusahaan yang tengah berkonflik dengan warga, PT Hardaya Inti Plantations, perusahaan milik Hartati Murdaya.  Pada aksi itu, mereka mendesak pembebasan 13 petani antitambang yang masih  ditahan Polres Donggala karena demo hingga memakan korban jiwa beberapa minggu yang lalu lalu. Termasuk juga mendesak agar perluasan tambang di Kecamatan Dondo, Kabupaten Tolitoli dihentikan.

Di Riau, Konflik antara warga desa akibat bersengketa dengan perusahaan hutan tanaman industri PT Sumatera Riang Lestari di Pulau Rupat, memasuki babak baru. Pada 28 Agustus, mediasi sengketa lahan digelar di Kantor Mapolres Bengkalis dan dipimpin langsung Kapolres Bengkalis, AKBP Tony Ariadi Effendi.

Setidaknya 35 peserta mewakili unsur masyarakat, perusahaan, polisi dan pemerintah kabupaten hadir dalam upaya mediasi ini.Dalam notulensi rapat sepanjang empat halaman itu, salah seorang perwakilan masyarakat bernama Sugianto dengan tegas menolak keberadaan PT SRL di Pulau Rupat dan lahan masyarakat dikeluarkan dari konsesi PT SRL.

Yusrizal, Camat Rupat mengakui di Desa Pergam dan Desa Mesim memang mempunyai lahan yang dikelola kelompok masyarakat seluas 4.500 hektar dan perorangan seluas 1.000 hekta, masuk dalam konsesi PT SRL. Dari perwakilan PT SRL berargumen, mereka bekerja di Pulau Rupat sesuai arahan bupati.

Dari rapat yang berlangsung selama tiga jam ini disepakati akan dibentuk tim survei dan verifikasi ke Lapangan. Tim mulai bekerja sejak rapat mediasi ini dimulai. Tugas utama tim melakukan pendataan lahan sengketa antara perusahaan dan masyarakat.

September 2012

Awal September ini, beberapa petani datang ke Jakarta, dengan niat mencari jalan agar lahan mereka tak dicaplok tambang. Aksi sudah dilakukan di Desa Sukadamai Baru, Sungai Lilin, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel), tetapi perusahaan terus melaju.  Akhirnya, mereka mengadu ke Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Tanah desa dan kebun mereka terancam dengan kehadiran PT. Tigadaya Minergi (TDM). Mereka diintimidasi.  Terteror dengan mobilisasi kepolisian dan TNI yang dilakukan perusahaan dan kaki tangan guna melancarkan realisasi tambang itu.

Buldoser yang digunakan perusahaan untuk menggusur lahan adat di Muara Tae, Kutai Barat, kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Di Kalimantan Timur, konflik antara warga Desa Muara Tae dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP), yang sudah berlangsung lama, kembali memanas. Pada 22 September 2012, warga menahan kunci buldozer untuk menghentikan penggusuran lahan.

Perusahaan sawit ini seolah tak peduli atas penolakan warga. Mereka tetap saja menggusur lahan masyarakat sekitar.  Beragam cara dilakukan warga untuk menghentikan operasional perusahaan ini. Mereka berusaha mencari kata sepakat atau penyelesaian konflik ini.  Warga telah melapor sampai ke Kapolda Kaltim.

Menurut dia, beberapa kali mereka mengirim surat penolakan dan mencoba menemui manajer umum perusahaan, tetapi tak pernah berhasil. “Jadi kami melihat tidak ada niat baik ikut menyelesaikan permasalahan ini.”

Pada 29 September 2012, tindakan represif aparat kepolisian Polres Batang menyebabkan luka-luka pada beberapa warga di sana. Komnas HAM pun turun menyelidiki kasus ini.

Peristiwa bermula ketika warga Karanggeneng, pada hari itu melihat ada mobil Toyota Kijang Innova dikendarai Khalis Wahyudi (38 tahun) warga asal Jepara dan berpenumpang 1 orang Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang bernama Satoshi Sakamoto (58 tahun) asal dari PT. Sumi Tomo Corporation datang ke lokasi yang akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk survei. Beberapa warga mencoba menemui dan mengajak Satoshi Sakamoto dan Khalis Wahyudi ke rumah salah satu warga desa Ponowareng yakni Casnoto.

Sekitar pukul 15.00 WIB, Polsek Tulis berusaha mengevakuasi orang Jepang  ini. Namun, melihat warga dengan jumlah banyak maka Polsek Tulis berusaha meminta tambahan personel anggota polisi.

Sekitar pukul 16.30 datang kurang lebih sekitar ratusan anggota Dalmas dan Brimob dari Polres Pekalongan ke Desa Ponowareng. Kedatangan ratusan Brimob itu ternyata ditumpangi puluhan orang yang tidak dikenal dan dilengkapi senjata tajam. Mereka langsung melempari para warga yang sedang berkumpul. Akhirnya, terjadi kekerasan, beberapa warga mengalami luka-luka.

Aksi Warga menolak pembangunan PLTU. Foto: Tommy Apriando

Oktober 2012

Awal bulan ini diwarnai  aksi warga Batui, Desa Honbola, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng) menduduki proyek Donggi Senoro LNG. Aksi itu ekspresi permasalahan yang ditimbulkan dampak pembangunan Donggi Senoro Liquid Natural Gas (LNG) di wilayah hilir, yang meminggirkan warga sekitar melalui menipulasi pembayaran tanah, dan kongkalikong para spekulan dengan pemrakarsa proyek.

Ada kurang lebih 300 ratusan hektare tanah warga menjadi areal tapak projek Kilang LNG yang dirampas melalui pembayaran fiktif, bervariatif, murah dan cenderung salah sasaran.

Donggi Senoro LNG juga melakukan pembohongan publik dengan mengatakan proyek ini hampir rampung secara teknis dan siap operasi 2014. Padahal, investigasi Jatam Sulteng menunjukkan, masih ada kurang lebih 30 hektare tanah dari sekitar 300 hektare yang belum dibayarkan. Lalu, sekitar 80 warga merasa mendapatkan ketidakadilan dari proses pembayaran tanah yang manipulatif.

Lahan warga di Desa Sinorang, yang diklaim sudah dilepaskan untuk proyek Donggi senoro LNG tanpa sepengetahuan warga. Foto: Jatam Sulteng

Di Sumatera Utara (Sumut), Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, makin memanas. Sampai Kamis(18/10/12), warga masih siaga dan terus berjaga-jaga, baik di sekitar wilayah masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta maupun di Tombak Haminjon (hutan kemenyan).

Konflik tapal batas tanah adat dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) terjadi sejak 2009. Pemetaan hutan adat sudah dilakukan dan lewat penetapan pansus DPRD telah disampaikan ke Kementerian Kehutanan. Namun, sampai sekarang belum ada kabar.  Status belum jelas, perusahaan terus menebang dan membuka hutan yang menyebabkan protes warga.

Keadaan memanas dipicu pernyataan Kapolres Humbang Rabu(10/10/12)  yang mengancam akan menangkap paksa delapan warga yang diduga terlibat bentrok dengan kepolisian dan PT TPL. Warga panik dan bersiap-siap menghadang polisi. Masyarakat berkumpul dan menjaga kampung, dari anak-anak sampai orangtua. Masyarakat adat sejak awal minta penyelesaian dengan hukum adat

Masih di Sumut, pada pertengan Oktober, perwakilan masyarakat Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) datang ke Jakarta, untuk menagih janji. Mereka menuntut kepastian pengembalian lahan masyarakat setelah hampir 20 tahun dikuasai perusahaan sawit milik pebisnis papan atas di Indonesia, Sri Hartati Murdaya: PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP). Kini, sang big boss mendekam dalam tahanan KPK karena menjadi tersangka kasus suap izin perluasan kebun sawit di kabupaten yang sama.

Pada hari yang sama, 15 Oktober, di Buol, ribuan warga aksi menuntut pengembalian lahan mereka yang diambil paksa perusahaan. Menurut warga, kepemilikan lahan dari awal diperoleh dengan cara-cara curang, intimidasi dan kekerasan. Pada 1993, PT HIP banyak melanggar dan menggusur kebun produktif warga di Kecamatan Bokat dan Momunu—saat ini dimekarkan menjadi tiga kecamatan: Momunu, Tiloan dan Bukal.

Protes dan warga terhadap perusahaan kembali terjadi. Suara dan teriakan mereka tak diindahkan, amuk warga pun pecah.  Ini terjadi di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut), 29-30 Oktober 2012, aksi warga berakhir rusuh. Warga sejak awal menolak pemasangan pipa limbang tambang emas PT Agincourt Resources di Sungai Batangtoru. Warga khawatir pipa akan mencemari sungai yang menjadi tumpuan sumber air sekitar 25 desa di tiga kecamatan

Hampir semua warga memanfaatkan aliran Sungai Batangtoru, untuk berbagai keperluan rumah tangga dan pengairan pertanian. Penolakan warga wajar dan realistis. Sayangnya, teriakan kekhawatiran rakyat bak angin lalu.

Warga kesal. Perusahaan justru dikawal ratusan aparat Kepolisian dan TNI, dengan memaksakan kehendak melanjutkan pemasangan pipa. Amuk warga terulang setelah sempat terjadi Juni lalu. Aksi warga pada Senin (29/10/12), diantisipasi aparat. Demo hari kedua, Selasa(30/10/12), terjadi amuk massa, setidaknya satu mobil di bakar dan empat mobil dirusak.

November 2012

Penolakan warga Buol kembali terulang.  Ratusan petani dari Kecamatan Bukal, Momunu dan Tiloan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng), kembali menghadang dan melarang kendaraan-kendaraan pengangkut crude palm oil (CPO)  milik perusahaan Hartati Murdaya, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) sejak 2 November 2012.

Penutupan akses kendaraan CPO ini sebagai protes tindakan perusahaan yang dinilai mengingkari kesepakatan kedua belah pihak pada 16 Oktober lalu.

Sudarmin Paliba, Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wanalestari, Buol, Sulteng mengatakan, pengingkaran kesepakatan oleh perusahaan bukanlah kali pertama. Sebab, setiap kesepakatan yang dibuat sejak 2000, selalu tidak dilakukan oleh perusahaan.

Aksi tenda warga Jambi di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Pertengahan bulan ini konflik petani Jambi dengan beberapa perusahaan dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), kembali menghangat. Warga yang tak mendapatkan kepastian, nekad ke Jakarta. Mereka bertenda di Gedung DPR, tetapi digusur. Lalu, mulai 19 November 2012, mereka ‘membuka kampung’ di depan kantor Kemenhut.

Warga datang menagih janji kepada Kemenhut sesuai pertemuan 16 Desember 2011 untuk mengeluarkan lahan warga dari konsesi perusahaan. Dalam pertemuan yang  dihadiri Sekretaris Jenderal Kemenhut, Hadi Daryanto ini, disepakati lahan warga akan dikeluarkan dari konsesi perusahaan, dengan persyaratan pemetaan wilayah dan inventarisasi warga. Saat kembali ke Jambi, pemetaan melibatkan pemerintah daerah, perusahaan pun dibuat berikut inventarisasi warga.

Di Gorontalo.  Warga Desa Bubode, Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorontalo Utara, menolak kehadiran perusahaan hutan tanaman industri (HTI), PT Gema Nusantara Jaya, yang mencaplok lahan warga. Wargapun membuat dukungan lewat tanda tangan dan mendatangi kantor DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, 12 November  2012.

Di DPRD, warga mengungkapkan  perusahaan berupaya memecahbelah antar masyarakat. Bahkan, PT GNJ diduga menyewa preman dan menakut-nakuti masyarakat.  Meskipun ditakut-takutii dengan preman dan militer, masyarakat tetap menolak HTI. “Alhasil,  sekitar delapan warga dilaporkan perusahaan ke kepolisian pada minggu sebelumnya. Mereka dituduh merusak tanaman perusahaan.

Desember 2012

Pada 12 Desember 2012, ratusan petani Jambi aksi jalan kaki (long march) dari Jambi ke Jakarta. Aksi jalan kaki itu diperkirakan menempuh jarak kurang lebih 1000-an kilometer.

Petani memulai aksi jalan kaki ini dari depan Kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Jambi. Lalu, petani berjalan kaki dengan berbaris rapi melalui 20-an kota di sepanjang Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Banten.

Ada pun tempat-tempat yang akan dilalui petani, seperti Simpang Tempino, Banyu Lincir (Sumsel), Sungai Lilin (Sumsel), Betung (Sumsel), Palembang (Sumsel), Ogan Komering Ulu (Sumsel), Ogan Komering Ilir (Sumsel), Mesuji (Lampung), Tulang Bawang (Lampung), Pesawaran (Lampung), Bandar Lampung (Lampung), Kalianda (Lampung), Bakauheni (Lampung), Merak (Banten), Cilegon (Banten), Serang (Banten), Tangeran (Banten) dan Jakarta.

Dalam perjalanan, beberapa petani mengalami kecelakaan.  Aksi ini masih dalam satu rangkaian protes petani meminta lahan mereka dikeluarkan dari konsesi perusahaan. Sebagian petani sudah aksi di Jakarta dan kini masih tinggal di tenda di depan Kementerian Kehutanan.

Aksi petani Jambi di Jakarta, dengan tenda di depan Kemenhut, tampaknya akan menjadi penutup dan pembuka tahun baru. Semoga saja, ini bukan petanda pemerintah akan terus mengabaikan suara warga di tahun-tahun mendatang. (Habis)

 


Kaleidoskop Konflik Agraria 2012: Potret Pengabaian Suara dan Hak Rakyat (Bagian 2) was first posted on December 27, 2012 at 11:53 pm.

Konflik Agraria 2012, Ratusan Petani Ditahan dan 25 Tertembak

$
0
0

Petani Ogan Ilir kala berdemo ke Jakarta, awal Juli 2012. Mereka meminta pengembalian lahan yang dicaplok PTPN IV sejak 1980-an. Foto: Sapariah Saturi

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam tiga tahun konflik agraria terus meningkat. Tahun ini, terjadi 198 kasus, dengan areal konflik 963.411 hektar, melibatkan 141.915 keluarga. Angka ini, melesat dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik.

Idham Arsyad Sekretaris Jenderal KPA dalam laporan akhir tahun, mengatakan, catatan kriminalisasi dan kekerasan petani sepanjang tahun ini, 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 tertembak, dan tercatat tiga orang tewas.

Dari 198 kasus ini, katanya, sekitar 90 kasus di sektor perkebunan (45%); 60 sektor pembangunan infrastruktur (30%); 21 sektor pertambangan (11%); 20 sektor kehutanan (4%). Lalu, lima sektor pertanian tambak atau pesisir (3%) dan dua sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 %).

Konflik-konflik ini, tersebar di 29 provinsi. Terbanyak di Jawa Timur 24 kasus dan Sumatera Utara 21 kasus. “Disusul, Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan masing-masing 13 kasus, Riau dan Jambi masing-masing 11 kasus, sisanya tersebar di provinsi lain di Indonesia,” katanya di Jakarta, Jumat(28/12/12).

Sementara itu, sejak 2004-2012, sepanjang pemerintahan SBY terjadi 618 konflik agraria di seluruh Indonesia, dengan areal 2.399.314,49 hektar. “Ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan,” ujar dia.

Keadaan ini, menjadi cerminan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik maupun sengketa agraria. Konflik ini, kata Idham, melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat yang mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, dan 63 luka serius akibat peluru aparat. “Korban meninggal 44 orang di wilayah-wilayah konflik itu selama periode 2004 – 2012.”

Menurut dia, konflik era SBY terus meningkat karena reforma agraria baru sebatas buku dan iklan kampanye.  “Tahun 2007, pemerintahan ini pernah berjanji reforma agraria lewat program pembaruan agraria nasional (PPAN). Faktanya, sampai sekarang belum memenuhi janji itu sebagaimana dimandatkan konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria 1960.”

Pengamatan KPA, persoalan pelik agraria di Indonesia karena tumpang tindih UU berkaitan agraria dari pertanahan, hutan, tambang, perkebunan, mineral batu bara dan migas. UU ini, tidak mengacu kepada konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960.  “Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan di bidang agraria. Ini mengakibatkan tanah-tanah yang ditempati masyarakat, khusus masyarakat kecil di pedesaan dan pedalaman, jadi tidak terlindungi, rentan aksi-aksi perampasan tanah yang dilegalkan atas nama pembangunan dan investasi,” ucap Idham. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan akses dan hak masyarakat terhadap tanah dan sumber-sumber agraria lain yang tersedia menjadi tertutup.

Parahnya, persoalan ini, alih-alih diselesaikan pemerintah dan DPR. Justru, dibuat berbagai regulasi yang malah berpotensi kuat menambah rumit tumpang-tindih perundang-undangan di negeri ini. “Seperti perumusan RUU Pertanahan dan RUU Hak-hak Atas Tanah.”

Tahun 2012, DPR mengesahkan operasionalisasi UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang diusulkan pemerintah. Lalu, dibuat Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lewat dua kebijakan ini, pembebasan tanah dalam skala luas untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan investasi makin mulus dan cepat terlaksana. “Tidak mengherankan jika konflik agraria dalam proses pengadaan tanah untuk infrastruktur meningkat drastis sepanjang tahun ini,” katanya.

Tak hanya itu, sepanjang 2012 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal dalam UU sektoral yang dianggap bertentangan dengan konstitusi seperti UU Kehutanan dan UU Migas. Tahun ini pula, terdapat kebijakan pertanahan cukup menarik perhatian, yakni pergantian Kepala BPN, dari Joyo Winoto kepada mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Sejak awal, KPA ragu terhadap kapasitas dan komitmen Kepala BPN baru dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pelik agraria. “Keragauan ini terbukti. Karena sampai sekarang BPN makin menjauh dari usaha sungguh-sungguh menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat kecil dan penyelesaian konflik pertanahan.”

Selain itu, pelaksanaan PP No.11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang sempat diharapkan menjadi pemicu redistribusi tanah-tanah yang banyak diterlantarkan perusahaan-perusahaan berjalan bak siput. Sampai saat ini, dari 4.8 juta hektar tanah yang diindikasikan terlantar oleh BPN, baru 37.224 hektar ditetapkan sebagai tanah terlantar. “Belum sejengkal pun tanah-tanah itu diredistribusikan kepada rakyat melalui skema PP Tanah Terlantar ini.” Belum lagi,  penertiban hak guna usaha (HGU) perusahaan-perusahaan perkebunan baik swasta atau BUMN yang bermasalah dan diterlantarkan tetap tak tersentuh PP ini.

Farida, petani Ogan Ilir yang berkonflik dengan PTPN IV Unit Cinta Manis, menunjukkan proyektil peluru. Dia terkena tembak di pundak kanan. Foto: Sapariah Saturi

Konflik  dan Agraria

Begitu banyak kekeliruan dalam pemberian izin, konsesi dan hak atas tanah kepada perusahaan, dan menimbulkan konflik agraria, tetapi pemerintah seakan sulit merevisi meskipun secara hukum mereka sangat berwenang melakukan. Mengapa? “Ini bukan semata-mata karena alasan memberikan kepastian hukum dalam investasi, apalagi soal ketakutan akan digugat balik perusahaan. Kenyataan ini mengindikasikan kuat selama ini pemberian izin dan konsesi telah berjalinan erat dengan perilaku birokrat dan penguasa politik yang korup,” kata Idham.

Dia mencontohkan, penangkapan Bupati Buol karena terbukti menerima suap dan pengusaha Hartati Murdaya yang ditahan KPK. Hartati didakwa menyuap dalam pengurusan rekomendasi HGU perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. “Fakta ini fenomena gunung es. Bahwa selama ini penguasa begitu mudah memberikan tanah-tanah dalam skala begitu luas kepada pengusaha.”

Keadaan ini, seharusnya mendorong KPK, kepolisian dan kejaksaan mulai berkomitmen menjalankan reforma agraria. Caranya, dengan meneliti sungguh-sungguh wilayah-wilayah yang selama ini dilaporkan mengalami konflik agraria dan mengaitkan dengan kejahatan korupsi. Terlebih, survei integritas KPK tahun 2012 memperlihatkan Kementerian Kehutanan dan BPN dalam posisi paling buruk.

Untuk itu, diharapkan, di sisa dua tahun pemerintahan konflik agraria bise selesai dan mempercepat realisasi redistribusi tanah-tanah terlantar kepada rakyat.  KPA pun merekomendasikan beberapa hal.  Pertama, jika sungguh-sungguh ingin mengakhiri konflik agraria selama ini, Presiden SBY harus dapat mengakhiri ego sektoral. Caranya, dengan memanggil dan mengumpulkan semua kementerian serta lembaga pemerintahan terkait konflik agraria seperti Kepala BPN, Kemenhut, Kemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemendagri, Kementerian BUMN.

Kedua, Presiden mengeluarkan Perpres untuk membentuk unit atau kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Unit ini bertugas mengkoordinir kementerian terkait penyelesaian konflik agraria di semua sektor.

Ketiga, lembaga ini menerima laporan pengaduan dan mengambil keputusan penyelesaian konflik agraria, bersifat mengikat semua pihak, dengan prinsip pemulihan dan keadilan bagi seluruh pihak, khusus para korban konflik.

Petani Jambi yang menuntut pengeluaran lahan dari wilayah konsesi perusahaan. Kini, mereka aksi tenda di depan Kementerian Kehutanan di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Pengelolaan SDA Buruk

Tak hanya KPA, ICW, WWF, TII dan Kehati, pun menilai, sampai penghujung 2012, kebijakan pemerintah terhadap tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup masih jauh dari memuaskan.

Natalia Soebagjo, Sekjen Transparency International Indonesia mengatakan, tata kelola SDA yang belum berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan mengakibatkan jarak antara masyarakat lokal dengan alam sekitar meningkat. Distribusi dan pemanfaatan SDA yang belum merata juga menyebabkan masyarakat, termasuk masyarakat adat menjadi penonton.

Pemerintah, menetapkan target penetapan hutan desa 300 ribu hektar dan hutan kemasyarakatan 1,2 juta hektar pada 2010-2012.  Namun, hingga November 2012 hanya 102.987 hektar hutan desa dan 187.516 hektar hutan kemasyarakatan ditetapkan. Prosedur perizinan rumit dan kurang terbuka ditengarai menjadi penyebab utama.

Survei integritas KPK menunjukkan, Kementerian Kehutanan dengan indeks integritas terendah lingkup pemerintah pusat.  “Jadi, mendesak perbaikan sistem perizinan di Kementerian Kehutanan. Keterbukaan informasi perlu ditingkatkan. Tidak cukup diterjemahkan dengan menyediakan website, tapi lebih utama bagaimana kualitas dan kuantitas informasi secara terbuka disediakan ke publik,” katanya dalam pernyataan kepada media, Kamis(27/12/12).

Dia mencontohkan, penting bagi Kemenhut, menyatakan terbuka bagaimana proses perencanaan manajemen kehutanan di pusat. “Baik rencana kerja tahunan yang terkordinasi dengan pengelolaan anggaran, publikasi penggunaan bahan baku untuk kebutuhan industri pulp dan kertas, dan informasi penting lain.”

Efransjah, CEO WWF Indonesia menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 yang menegaskan proses pengukuhan harus membangkitkan sense of crisis kawasan hutan Indonesia. Terlebih baru sekitar 12 persen penetapan kawasan hutan Indonesia.“Kemantapan tatabatas kawasan hutan prasyarat mendasar kelestarian. Karena itu, upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan yang diinisiasi KPK, UKP4, Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, dan berbagai kementerian atau lembaga negara terkait perlu didukung.”

Deforestasi, memang mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Namun, deforestasi selama ini telah mengubah signifikan hutan produksi. “Hingga kawasan konservasi dan hutan alam yang tersisa menjadi benteng terakhir yang perlu diselamatkan.”

Dia menegaskan, perlunya pemantapan tatabatas kawasan hutan dan, moratorium pemberian izin baru mutlak diteruskan. Selain itu, pengelolaan sumberdaya alam hayati, baik di darat mau pun di laut tidak mungkin monopoli pemerintah. Untuk itu, keterlibatan berbagai pihak, terutama masyarakat setempat dan masyarakat adat  maupun civil society organisation (CSO) sangat penting.

MS Sembiring, Direktur Kehati, mengatakan, pemerintah dan komunitas donor perlu senantiasa memberikan dukungan terhadap CSO. “CSO sangat signifikan mewarnai diskursus good governance dan clean government sektor SDA.”

2013 Krusial

Tahun 2013 akan menjadi tahun krusial bagi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia. Setidaknya 110 kepala daerah akan berganti pada 2013. Selain itu, tahun depan akan menjadi tahun konsolidasi menuju Pemilu 2014.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, secara empirik, setahun menjelang hingga setahun setelah pemilihan kepala daerah akan meningkatkan frekuensi penerbitan izin konversi hutan. “Ditambahkan konsolidasi partai politik menjelang pemilu 2014, korupsi sektor sumberdaya alam khusus perizinan pada 2013 ditengarai meningkat tajam,” katanya.

Menurut dia, terbukti korupsi memiliki korelasi dengan deforestasi. Karena itu, memberantas korupsi sektor kehutanan sekaligus menjadi upaya mengurangi deforestasi di Indonesia.

Lembaga-lembaga ini menilai, sampai 2012, menunjukkan praktik monopoli dalam penguasaan SDA oleh kepentingan tertentu hingga mengakibatkan konflik agraria tinggi, seperti di Pulau Padang (Riau), Mesuji (Lampung), Cinta Manis (Sumsel), dan lain-lain. Kebijakan pro kapital (corporated-based) terbukti menimbulkan kerusakan SDA, kehilangan pendapatan negara tinggi bahkan memicu konflik baik vertikal maupun horisontal.  Untuk itu, tahun depan, pemerintah harus mengubah paradigma pengelolaan SDA menjadi lebih berkelanjutan, transparan, dan pro-rakyat (community-based).

Eksavator terlihat membuat kanal di hutan lahan gambut dalam konsesi PT Asia Tani Persada, penyuplai PT APP. Padahal, Indonesia tengah menjalankan aturan moratorium hutan dan gambut. Foto: Greenpeace


Konflik Agraria 2012, Ratusan Petani Ditahan dan 25 Tertembak was first posted on December 28, 2012 at 9:55 pm.

Tersebar di 98 Kabupaten, Konflik Agraria Didominasi Sektor Perkebunan dan Kehutanan

$
0
0

Sektor perkebunan, didominasi sawit merupakan sektor pemicu konflik agraria dan sumber daya alam di negeri ini. Foto: Sapariah Saturi

DALAM enam tahun terakhir, HuMa mencatat konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, terjadi menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi alias setara separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan dan kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun.  Sektor perkebunan 119 kasus, dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedang  sektor kehutanan 72 kasus, dengan luas area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.

Koordinator Database dan Informasi HuMa, Widiyanto mengatakan, secara kuantitas, konflik yang didokumentasikan HuMa ini hanya potret permukaan. Jika semua konflik berhasil diidentifikasi jumlah dan luasan pasti jauh lebih besar. Dari 22 provinsi konflik yang didokumentasikan, tujuh provinsi memiliki konflik paling banyak, yakni Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. (lihat grafis).

Kalimantan Tengah, menjadi provinsi paling banyak konflik, 13 dari 14 kabupaten dan kota bermasalah klaim atas SDA dan agraria. Konflik merata. Sekitar 85 persen dari kasus di Kalimantan Tengah di sektor perkebunan, 10 persen sektor kehutanan. Sisanya, konflik pertambangan dan konflik lain.

Dari data HuMa, keempat provinsi se-Kalimantan menyumbang 36 persen konflik  di Indonesia. “Konflik-konflik di provinsi-provinsi lain di Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera dan Jawa juga menunjukkan kondisi mencemaskan,” katanya kala memaparkan Outlook Konflik 2012 di Jakarta, Jumat(15/2/13).

Konflik di Sumatera hampir mirip dengan Kalimantan, berupa klaim komunitas lokal atau masyarakat adat dengan negara maupun perusahaan. “Dua pulau besar ini memiliki kawasan hutan luas dan menjadi wilayah ekspansi perkebunan sawit di Indonesia,” ujar dia.

Untuk konflik di Jawa, lebih banyak menyangkut sektor kehutanan. Gugatan masyarakat terhadap penguasaan wilayah oleh Perhutani masih deretan teratas. Konflik melibatkan Perhutani hampir di seluruh wilayah kerja perusahaan pelat merah  ini, seperti di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data resmi Perhutani,  menunjukkan perusahaan ini menguasai kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar. Ada sekitar 6.800 desa berkonflik batas dengan kawasan Perhutani di Jawa.

HuMa juga mengidentifikasi akar-akar konflik dari berbagai sektor. Untuk sektor perkebunan, kata Wiwid, meluas ditengarai sebagian besar terjadi di kawasan hutan. Hutan yang sebelumnya ditumbuhi pohon-pohon lebat dan banyak dikelola masyarakat, dalam satu dekade mengalami deforestasi amat parah. “Tingkat konversi hutan cukup tinggi di daerah di mana ekspansi sawit merajalela.”

Laju investasi perkebunan sawit diduga memperkuat tekanan kebutuhan lahan, dan yang rentan dikorbankan kawasan hutan. Contoh, terjadi di Nagari Rantau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, melibatkan PT. Anam Koto. Perusahaan ini, memegang hak guna usaha seluas 4,777 hektar, dulu diklaim wilayah hutan adat.

Begitu juga di Kalimantan. Ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit di tak ayal membuat luas hutan berkurang drastis. Perubahan status kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan, tukar- menukar tak seimbang, maupun izin pinjam pakai marak terjadi dan cenderung kian tak terkendali.  “Konflik klaim adat atas wilayah hutan melawan penunjukan sepihak negara, makin runyam. Kasus ini belum tuntas, konflik bertambah antara masyarakat dengan perusahaan.

Penyebab konflik ini, menurut HuMa, terkait kepentingan para pihak seperti pemerintah dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar, keinginan mengembangkan komoditas tertentu seperti sawit, kapas transgenik, ekaliptus, dan lain-lain. Lalu, konflik ruang tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemilik modal, juga pemilik modal dengan pemilik modal lain, pola kerjasama tidak seimbang antara perusahaan dengan petani dan penentuan pola ruang tidak partisipatif. Dari data HuMa, paling tidak ada 14 provinsi memiliki konflik perkebunan mayoritas di Kalimantan dan Sumatera.

Untuk sektor kehutanan, penyebab konflik mayoritas didominasi hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai komunitas lokal secara komunal. Politik penunjukan tanah yang diklaim milik negara menyulut perlawanan hingga konflik berlarut-larut.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa teridentifikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan. Kini desa-desa ini menunggu kejelasan status. Di banyak desa hampir keseluruhan wilayah administratif di kawasan hutan lindung atau konservasi. “Bila  masyarakat mengamabil kayu atau hasil hutan, berarti bisa dengan mudah dianggap tindakan ilegal.”

Salah satu terjadi di Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Wilayah administratif desa ini hampir 90 persen di kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lore-Lindu. Kini kasus desa ini masih pendampingan oleh Bantaya, mitra HuMa di Palu.  Ada juga di Kelurahan Battang Barat, Kota Palopo, sekitar 400 hektar terkena perluasan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Nanggala III.

S. Rakhma Mary dari Pusat Database dan Informasi HuMa mengungkapkan, desa-desa di kawasan hutan, seperti Desa Sedoa atau Kelurahan Battang Barat, tanah-tanah tak dapat diterbitkan sertifikat atau bukti kepemilikan tanah. Pengaturan pengaturan tanah di kawasan hutan di Kemenhut dan sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional.

Parahnya, masalah desa di kawasan hutan ini berimplikasi pada pelayanan publik, jaringan infrastruktur, dan banyak lagi. “Ini rentan diskriminasi masyarakat desa dalam kawasan hutan.”

Konflik kehutanan, kata Rakhma, juga dilatari perbedaan cara pandang antara perusahaan dengan komunitas setempat atas jenis tanaman yang ditanam. Biasa, konflik seperti ini marak pada area-area konsesi hutan produksi atau hutan tanaman industri yang memiliki tutupan primer. “Perusahaan memerlukan lahan skala luas untuk bahan baku pembuatan kertas atau kayu lapis olahan.”

HuMa mencatat, kasus PT. Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan (Tombak Haminjon) yang sudah dikuasai turun temurun masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, mengganti dengan pohon ekaliptus.

Lalu kasus PT. Wira Karya Sakti, membabat hutan primer untuk akasia dan ekaliptus di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi serta kasus PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Semenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Konflik di sektor pertambangan, tak sebanyak kehutanan dan perkebunan. Namun, konflik ini sangat mudah meletup dibanding kehutanan, cenderung bersifat laten. Dari pantauan HuMa, komunitas lokal sangat gigih mempertahankan wilayah kelola yang dirampas perusahaan izin konsesi tambang, tanpa ada pertimbangan persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan atau free, prior and informed consent (FPIC).

Dalam konflik pertambangan memiliki kecenderungan terjadi bentrok fisik. Korban luka banyak berjatuhan, beberapa meninggal dunia. “Perusahaan hampir selalu tampil sebagai pemenang. Aparat polisi, jaksa, hingga hakim cenderung lebih mengutamakan pihak yang memegang konsesi sebagai alas hukum ketimbang adat yang dianggap tak resmi atau formal,” ucap Rakhma.

Perusahaan tambang dengan mudah membelokkan tudingan penyerobotan tanah, kawasan hutan atau pencemaran lingkungan, menjadi persoalan administrasi konsesi atau kontrak karya. Tak jarang, perusahaan dibantu aparat penegak hukum mengkriminalisasi warga yang protes dengan dalih anarkis. “Warga ditangkapi, ditahan, banyak dipenjara. Seperti PT. Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.”

Di Kalimantan Barat, tepatnya di Pelaik Keruap, Kabupaten Melawi, tiga tokoh komunitas setempat dihukum penjara dengan dakwaan menahan tanpa hak rombongan surveyor perusahaan tambang PT. Mekanika Utama yang masuk kampung tengah malam. Kriminalisasi juga menimpa empat warga Sirise, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Mereka dihukum lima bulan penjara karena mempertahankan lingko atau hutan adat yang diserobot perusahaan tambang.

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa

Negara, Aktor Tertinggi Rampas Hak Rakyat

Untuk pelaku utama konflik, ditempati perusahaan, dengan pola, komunitas lokal melawan perusahaan, petani versus perusahaan,  komunitas lokal dengan Perhutani dan masyarakat adat melawan perusahaan. “Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan,” kata Wiwid.

Konflik-konflik ini menyebabkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejalan dengan perkembangan HAM, saat ini perusahaan atau korporasi bisa dikategorikan sebagai pelaku, tak hanya negara.

Berangkat dari itu, sistem pendokumentasian HuMa mengklasifikasi kejadian masuk kategori peristiwa yang melingkupi kasus. HuMa mendokumentasikan konflik dengan dasar kasus, bukan peristiwa. Bila dalam kategori pelaku konflik, perusahaan atau korporasi menempati urutan teratas, dalam kategori pelanggar HAM dalam konflik agraria, negara menempati posisi pertama.

Kasus ini berlangsung sistematis menyasar kelompok masyarakat yang aksi demonstrasi menentang konsesi atau izin perusahaan. “Aparat negara, seperti personel Brimob, cenderung memposisikan diri sebagai pihak pengaman aset perusahaan ketimbang melindungi masyarakat,” ujar Rakhma. HuMa mencatat, sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas menjadi korban konflik SDA dan agraria.

HuMa juga mengidentifikasi pelaku pelanggar HAM dari kalangan individu yang memiliki posisi dan pengaruh dalam kekuasaan, terutama di tingkat lokal. Contoh, ketua kerapatan adat, menggunakan kekuasaan sebagai tetua adat untuk menghasut atau menyerang masyarakat yang protes-protes.

Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran HAM, pertama, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam paling sering terjadi (25%). Biasa terjadi pada sengketa yang terkait dengan kepemilikan kolektif, misal sekelompok masyarakat adat kehilangan akses terhadap hutan adat karena pemberian konsesi pada perusahaan oleh pemerintah.

Kedua, pelanggaran hak memiliki atau menguasasi kekayaan sebanyak 19 persen. Ini terjadi pada perampasan tanah-tanah masyarakat secara individu. Sebagian korban mempunyai surat kepemilikan tanah dan sebagian lain tidak. Di Kabupaten Aceh Timur,  ada 700 orang bersengketa dengan PT Bumi Flora. Warga di tujuh desa ini menunggu verifikasi tim pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka. Kasus serupa terjadi pada sengketa antara PT Lestari Asri Jaya dengan warga pendatang di Kabupaten Tebo. Mereka saling mengklaim sebagai pihak yang sah atas tanah  itu.

Ketiga, pelanggaran hak atas kebebasan sebanyak 18 persen. Kasus ini terjadi saat aparat pemerintah menangkap semena-mena masyarakat yang melawan penyerobotan tanah. Peritiwa penangkapan besar-besaran terjadi dalam kasus sengketa tanah PT Arara Abadi di Kabupaten Bengkalis. Sebanyak 200 orang ditangkap dalam sweeping mencekam dan berdarah. Juga terjadi di Kabupaten Labuhanbatu Utara, 60 warga menentang penyerobotan tanah PT Smart ditangkap. Nasib serupa dialami 24 warga penentang tambang PT. Fathi Resources di Kabupaten Sumba Timur.

Keempat, pelanggaran terhadap integritas pribadi, seperti pada kasus-kasus bentrokan. Bentrokan, katanya,  bisa terjadi antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun kepolisian. Tidak jarang sweeping kepolisian dengan jumlah personel di desa-desa untuk menangkap warga. Jika ada perlawanan berakhir penembakan dan penganiayaan.

Kasus seperti ini  di PT. Permata Hijau Pasaman II, Kabupaten Pasaman Barat, 20 orang luka tembak. Peristiwa berdarah PTPN VII di Ogan Ilir menyebabkan 23 warga luka tertembak, satu tewas. Kini, tiga orang dikriminalisasi, dua di antaranya aktivis Walhi Sumatera Selatan (Sumsel).

Dari beragam konflik ini, HuMa meminta, pemerintah  mengambil beberapa langkah. Pertama, moratorium semua perizinan untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan.

Ketiga, membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria bertugas mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria, case by case, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Keempat, dari rekomendasi lembaga  itu, pemerintah menindak tegas berupa pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan. Lalu, menindak pidana perusahaan maupun aparat pemerintah yang merampas tanah rakyat.

Kelima, review peraturan perundang-undangan SDA yang tumpang tindih. Keenam, mengembalikan tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat sebagai pemilik. Tindakan ini untuk menjalankan Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa


Tersebar di 98 Kabupaten, Konflik Agraria Didominasi Sektor Perkebunan dan Kehutanan was first posted on February 16, 2013 at 2:34 pm.

Tolak Tambang Pasir Laut di Selat Madura, Polisi Berupaya Kriminalisasi Nelayan

$
0
0

Warga nelayan menyandera kapak keruk pasir tambang di Selat Madura, yang dikawal marinir, pada akhir Oktober 2012. Foto: Munir

“Hadir menemui Kompol Fauzan Sukmawansyah ……….untuk didengar keterangan sebagai saksi, dalam perkara dugaan tindak pidana. Setiap orang yang merintangi atau menggangu kegiatan usaha pertambangan dan pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat dalam pasal 142 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas pelapor PT Gora Gahana.” Demikian kutipan surat pemanggilan Polda Jawa Timur (Jatim) kepada empat nelayan: Munir, Haji Mardiono, Haji Zainal, dan Muslih.

Surat pangilan ini datang pada 25 Februari 2013 dan warga menolak hadir. “Kami tak mau memenuhi panggilan itu. Ini aneh. Kok kita yang berjuang karena tempat hidup kita terancam malah dipanggil polisi,” kata Munir, Juru Bicara Forum Masyarakat Pesisir Suramadu (FMPS) kepada Mongabay kala dihubungi via telepon, Rabu(6/3/13).

Dia mengatakan, setelah mereka menolak pemanggilan, polisi pun mulai kerab menghubungi. “Mereka tiap hari datang, tanya-tanya mengapa saya tak datang. Ada polisi yang telpon. Ada dari Polairud, Polsek.”

Dia merasa aneh, gara-gara laporan perusahaan polisi langsung bertindak seperti itu tanpa melihat latar belakang mengapa warga dan nelayan menolak tambang. Menyikapi ini, mereka akan balik berkirim surat ke Polda Jatim untuk dengar pendapat. “Agar Polda mengerti duduk persoalan dengan baik.” Intimidasi tak hanya datang dari kepolisian. Ada organisasi masyarakat yang berusaha menakut-nakuti agar warga berhenti protes menolak tambang.

Munir mengatakan, para nelayan mendesak  PT Gora Gahana ini menghentikan penambangan karena bisa mematikan mata pencaharian dan merusak habitat ikan di Selat Madura. Saat ini saja, para nelayan sudah mulai kesulitan mencari ikan. “Ini jelas-jelas hak nelayan diabaikan oleh mereka yang terlibat di dalam penerbitan izin-izin itu.”

PT Gora Gahana, perusahaan rekanan PT Pelindo III.”>Hasil penambangan pasir itu akan dibawa ke kawasan Oso Wilangun untuk pengurukan laut dan pembangunan Pelabuhan Teluk Lamong. Luas selat yang akan menjadi lokasi penambangan pasir sekitar 510 hektar.

Upaya warga nelayan Desa Cumpat dan Nambangan, Surabaya, ini tak hanya aksi. Mereka sudah dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Jatim dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jatim, akhir Juni 2012. Hasilnya, sepakat merekomendasikan moratorium semua jenis perizinan aktivitas penambangan di selat Madura. Lagi-lagi, semua diabaikan PT Gora Gahana. Kapal-kapal penambang pasir ditempatkan di titik-titik eksplorasi, dan mulai menambang diam-diam.  Polisi air yang seharusnya bertugas melindungi dan menjaga keamanan laut,  malah terkesan membiarkan.

Pada, Mei 2012, mereka pernah ke Polsek untuk melaporkan kasus merampasan kawasan yang menjadi tempat mata pencarian. Namun, Polsek seakan menghindar. “Nah, sekarang, saat perusahaan yang lapor, warga diintimidasi terus untuk datang.” Pada Januari 2013 pun, para nelayan pernah mendatangi DPR RI Komisi IV  dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengadu.

Penasehat Hukum Walhi Jatim, Subagyo mengatakan, perusahaan penambang pasir laut berbasis di Jakarta itu menuduh perwakilan nelayan Desa Cumpat  dan Nambangan,  Kedungcowek, Surabaya melakukan tindak pidana. “ Atas laporan itu seharusnya, Kepolisian lebih menfokuskan pada carut marutnya perizinan tambang pasir laut di Jatim yang menjadi pemicu konflik sosial,” katanya, Senin(4/3/13).

Selain tidak berkorelasi dengan peraturan rujukan, ujar dia, pemanggilan diduga kuat bagian dari intimidasi perusahaan kepada masyarakat dengan memanfaatkan oknum aparat penegak hukum. Menurut Subagyo,  delik Pasal 162 UU Minerba tidak dapat diterapkan dalam pertambangan minerba di lautan termasuk di Selat Madura. Sebab lau,t bukan  tanah yang menjadi hak keperdataan seperti maksud Pasal 136 jo Pasal 135 UU Minerba.

Dengan menyebut persyaratan Pasal 136 ayat 2 UU Minerba, maka delik Pasal 162 UU Minerba hanya berlaku khusus pada pertambangan minerba di daratan. “Ini mensyaratkan ada penyelesaian hak atas tanah yang akan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan.”

Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jatim mengungkapkan, penolakan masyarakat nelayanini  bagian perjuangan meneguhkan hak  konstitusional  mereka. “Hak atas lingkungan hidup dan perairan yang  baik  dan  sehat, serta mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan nelayan.”

Upaya mempertahankan hak-hak itu, termasuk  lewat  menolak pertambangan pasir laut–  yang terbukti menghilangkan sebagian  besar pasir laut Selat Madura. “Itu tidak dapat  dituntu  pidana karena ada hak  imunitas,” ujar Ony. Hak ini, katanya, berdasarkan pada Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Penjelasan pasal ini, untuk  melindungi korban  atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. “Ini untuk mencegah tindakan pembalasan  dari terlapor melalui pemidanaan atau  gugatan perdata.”

Senada diungkapkan Abdul Halim, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). “Tak ada alasan bagi Kepolisian Jatim menindaklanjuti laporan PT. Gora Gahana.”  Sebaliknya, Polda Jatim harus menyelidiki PT. Gora Gahana atas pelanggaran ketentuan Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena, mengakibatkan nelayan kehilangan mata pencaharian. “Ini ancaman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”

Kapal keruk perusahaan yang disandera para nelayan di Selat Madura. Foto: Munir

Surat panggilan Polda Jatim, kepada beberapa warga, salah satu Munir, atas laporan perusahaan. Foto: Munir


Tolak Tambang Pasir Laut di Selat Madura, Polisi Berupaya Kriminalisasi Nelayan was first posted on March 8, 2013 at 10:46 pm.

Wamen ESDM Minta Investor Tambang Jaga Lingkungan

$
0
0

Eskavator tengah mengeruk tanam mencari pekerja tambang yang tertimbun. Tak hanya merusak alam dan lingkungan di Bangka, tambang telah membahayakan nyawa manusia di daerah itu. Foto: Friend of the Earth

Investor pertambangan di berbagai daerah di Indonesia, harus menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya mineral.  Demikian diungkapkan Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo.

Dia mengatakan masa depan Indonesia ada pada sumber daya alam pertambangan ini. “Pengelolaan harus ekstra hati-hati, terutama mengeksploitasi tambang  harus selalu menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan,” katanya seperti dikutip dari Antara, pada Rapat Koordinasi Asosiasi Pengusaha Tambang Nikel di Kendari, Jumat (26/4/13).

Bagi investor yang tidak peduli kelestarian lingkungan hanya akan membawa petaka bagi masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar kawasan tambang. Ketika lahan-lahan tambang dibiarkan menganga, tanpa direklamasi, sangat memungkinkan terjadi banjir dan tanah tanah longsor. “Ketika terjadi bencana banjir dan tanah longsor, yang menjadi korban, sudah pasti masyarakat di sekitar kawasan tambang.”

Pemerintah,  katanya, membuka kesempatan seluas-luasnya kepada para investor, baik lokal, nasional maupun asing, memanfaatkan potensi pertambangan di seluruh Indonesia. Namun, setiap investor, harus memenuhi empat syarat utama yang ditetapkan pemerintah.

Pertama, dalam mengelola SDA pertambangan investor harus memberikan keuntungan kepada negara lebih besar, yakni 85 persen dari pendapatan perusahaan. Kedua, investor yang mengeruk sumber daya di satu daerah, harus bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar kawasan tambang.

Ketiga, investor harus memperhatikan masyarakat miskin di sekitar kawasan tambang, dengan cara memberikan dana tanggung jawab sosial (CSR) yang memadai.  Keempat, setiap investor harus menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan dengan cara mereklamasi lahan-lahan bekas tambang yang sudah dikeruk SDA-nya.

“Kalau investor bisa memenuhi keempat syarat ini, silakan berinvestasi di daerah-daerah penghasil tambang. Pemerintah sebagai regulator, akan memberi kemudahan dalam perizinan.”

Fakta di lapangan, banyak operasi tambang bermasalah, berkonflik dengan masyarakat dan tak memperhatikan keberlangsungan lingkungan, seperti di Bangka-Belitung maupun di Sulawesi Tengah (Sulteng). Untuk itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) akhir Maret lalu, meminta pemerintah melalui Kementerian ESDM mengaudit seluruh perizinan tambang.

A Haris Balubun, pengkampanye Jatam, mengatakan, audit lingkungan memang bukan satu-satunya jalan. Namun, setidaknya bisa mengungkapkan rekam jejak penyimpangan, dan kelalaian penyalahgunaan wewenang pengurus negara dalam mengelola sumber daya alam (SDA). Dari sana, katanya,  dapat terlihat proses pemburukan lingkungan dan akibatnya. Ini tak lepas dari kepentingan kekuasan lokal dan nasional plus kekuatan modal.

Audit lingkungan ini, kata Haris, bukan hal baru dalam kebijakan di Indonesia. Sebelum, UU NO 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengamanatkan audit, sudah ada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pelaksanaan Pedoman Lingkungan. “Namun, sampai saat ini belum ada langkah nyata.

Padahal, saat ini izin tambang merata di seluruh Indonesia. Jika tambang terus berkembang, maka status warga jauh dari selamat.  Tak hanya lahan rakyat, kawasan konservasi juga dicaplok. Data Jatam 2011, menyebutkan, sekitar 2,9 juta hektar luas izin tambang tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Andrie S Wijaya, Koordinator Jatam mengatakan, kasus-kasus perusakan lingkungan, nyata di lapangan dan merupakan potret kegagalan perlindungan lingkungan. Fakta ini, ucap Andri, tak lepas dari kebijakan pembangunan berbasis perizinan dengan peluang korupsi begitu luas.

“Negarapun tak hanya rugi oleh kerusakan lingkungan juga oleh para koruptor.” Untuk itu, audit lingkungan sektor pertambangan harus segera dan menyeluruh dari perizinan hingga pasca tambang.

Ingatkan Pengusaha Tambang Bandel

Di tengah kinerja Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang disorot karena dinilai tak bergigi, Menteri Lingkungan Hidup (Menteri LH),  Balthasar Kambuaya bersama beberapa deputi kementerian memantau penerapan sanksi bagi perusahaan pertambangan batubara di  Samarinda.

Dikutip dari Antara, dia mengatakan, pertambangan berperingkat `proper hitam` dua kali dan belum menunjukkan kemajuan berarti dalam pengelolaan lingkungan akan ditindaklanjuti dengan penegakan hukum, baik perdata maupun pidana.

Kementerian LH memantau proses penaatan penerapan sanksi administrasi terhadap perusahaan pertambangan.  “Mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin, hingga pencabutan izin bagi perusahaan pertambangan oleh pemerintah daerah dalam upaya penaatan hukum lingkungan,” katanya di Samarinda, Senin(29/4/13).

Penerapan sanksi administrasi, merupakan tugas dan wewenang pemerintah daerah sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khusus pasal 63.

Dalam kunjungan itu, Menteri LH beserta Walikota Samarinda mendatangi tiga perusahaan pertambangan batubara yang telah diberikan teguran tertulis. Perusahaan itu melanggar peraturan lingkungan.  ”Satu perusahaan dinyatakan taat, satu perusahaan belum taat, dan satu perusahaan tidak taat dan berakibat sanksi penghentian sementara kegiatan penambangan.”

Tiga perusahaan pertambangan batubara di Samarinda ini dikunjungi, PT. Nuansa Coal Invesment, PT. Insani Bara Perkasa, dan CV. Bara Energi Kaltim. “Bila perusahaan tambang tetap tidak taat, sanksi akan dilanjutkan pencabutan izin oleh pemerintah Kota Samarinda,” ucap Balthasar.

Problem Lingkungan 2012. Sumber: Walhi

Perusahaan tambang yang membabat hutan di Cagar Alam Morowali. Selesai mengurai isi bumi, merekapun pergi tanpa merehabilitasi kerusakan. Foto: Jatam Sulteng


Wamen ESDM Minta Investor Tambang Jaga Lingkungan was first posted on April 30, 2013 at 12:01 pm.

Tersedot ke Perusahaan, Lahan Buat Warga Kalbar Tersisa 700 Ribu Hektar

$
0
0

Kepemilikan lahan begitu luas oleh perusahaan, makin menyingkirkan masyarakat hingga konflik terus terjadi, seperti di Kabupaten Kubu Raya (KKR) antara warga desa dan PT Bumi Pratama Khatulistiwa. Masalah bertambah kala perusahaan hanya memberikan janji-janji manis tanpa realisasi. Foto: Andi Fachrizal

Penguasaan lahan di Kalimantan Barat (Kalbar) didominasi perusahaan. Dengan total penduduk 4,3 juta jiwa, lahan yang bisa diakses masyarakat hanya 700 ribu hektar. Selebihnya, sudah dikapling untuk kepentingan perkebunan sawit, izin usaha pertambangan, dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam serta hutan tanaman.

Padahal, luas daratan provinsi itu mencapai 14,4 juta hektar. Apa daya, lahan seluas 4,8 juta hektar sudah dikuasai 326 perkebunan  sawit. Luasan lahan itu hampir setara Jambi.

Kapling lain adalah IUP seluas 1,5 juta hektar dan diberikan kepada 651 perusahaan. Dan IUPHHK-HA-HT yang kini dikuasai 151 perusahaan dengan luas kawasan 3,7 juta hektar.

Data faktual di atas terungkap dalam sebuah dengar pendapat dengan anggota DPRD Kalbar di Pontianak, Rabu (23/5). Aksi yang melibatkan 178 perwakilan masyarakat dari berbagai daerah di Kalbar ini didamping Lembaga Gemawan dan diterima Ketua DPRD Kalbar, Minsen, Ketua Pansus Tata Ruang Kalbar, Retno Pramudya, dan sejumlah anggota DPRD Kalbar lain.

“Saat ini, ada 529 perusahaan telah menguasai 10 juta hektar lahan, atau hampir 70 persen dari luas wilayah Kalbar,” kata Bustami, juru bicara yang mewakili warga Kubu Raya, di Kantor DPRD Kalbar.

Fakta ini, urai hanya ingin menyebut bahwa tinggal 30 persen atau 4,4 juta hektar luas daratan dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk Kalbar. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat ini, juga masih harus dikurangi kawasan konservasi dan lindung seluas 3,7 juta hektar.

“Jadi, sisa lahan 700 ribu hektar itu dibagi 4,3 juta penduduk, berapa rata-rata penduduk mendapatkan lahan? Ketimpangan struktur penguasaan lahan dan sumber daya alam seperti inilah yang menimbulkan banyak persoalan.”

Dia menilai, kondisi lahan yang sangat sempit, bisa menimbulkan banyak persoalan bagi masyarakat. Apalagi, bagi mereka yang menggantungkan hidup kepada lahan seperti pertanian, karet, kelapa, holtikultura, dan jenis tanaman lokal lain.

Sementara Sekretaris Jenderal Serikat Tani Serumpun (STSD) Sambas, Kumaini menyebut kedaulatan masyarakat terhadap tanah mereka sudah mulai terusik. “Tanah yang bertahun-tahun dikelola turun temurun tidak diakui secara hukum. Masyarakat dianggap mencaplok lahan negara, melanggar aturan, dan potensial dikriminalisasi.”

Konflik pemanfaatan lahan akibat kegiatan investasi pertambangan, HTI-HPH dan perkebunan, tidak hanya memposisikan masyarakat lokal berhadapan dengan perusahaan, juga dengan pemerintah daerah. Bahkan konflik antarmasyarakat secara horizontal. Tidak jarang, masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan.

Kumaini menjelaskan, sejak 2004, konflik meningkat dari 26 menjadi 104 kasus. Bahkan 70 masyarakat desa dan aktivis telah ditahan dengan tuduhan menolak ekspansi perkebunan sawit.

Peta usulan revisi dan draf Raperda RTRW Kalbar, katanya, belum menjawab berbagai persoalan mendasar dalam pemanfaatan ruang. Dalam peta itu, tidak ada upaya mitigasi konflik pemanfaatan lahan maupun tak ada perlindungan wilayah permukiman, pertanian tradisional, pengelolaan SDA berbasis masyarakat, dan peruntukan sentra produksi pangan. “Bahkan, ada indikasi pemutihan penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural.”

Untuk itu, perwakilan masyarakat Kalbar ini menyampaikan sejumlah sikap kepada anggota DPRD. Sikap ini masing-masing meminta penyelesaian persoalan wilayah kelola milik rakyat yang masuk dalam kawasan hutan. Para pihak, diminta segera menyelesaikan konflik lahan kelola masyarakat dengan perkebunan skala besar.

Lalu, segera sertifikasi lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat, segera selesaikan masalah tapal batas wilayah dan kawasan kelola masyarakat. Kemudian, lindungi lahan pertanian, perkebunan dan hak kelola masyarakat, serta evaluasi semua perizinan perkebunan skala besar di Kalbar dalam bingkai kebijakan rancangan tata ruang wilayah dan tindak tegas perusahaan-perusahaan jahat.


Tersedot ke Perusahaan, Lahan Buat Warga Kalbar Tersisa 700 Ribu Hektar was first posted on May 24, 2013 at 11:13 pm.

Weda Bay Nickel, Berkonflik dengan Masyarakat Adat, Hutan Lindung pun Terancam

$
0
0

Masyarakat adat aksi meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara

“Tanah Adat.” “Tanah Adat.” Plang-plang ini terpampang di sepanjang lahan adat yang diklaim perusahaan tambang di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Plang ini ada tertancap di tanah maupun di batang-batang pohon. Warga juga menutup jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel dan PT Tekindo, pada Senin (3/6/13), dari pukul 07.00-13.00. Mereka adalah warga Desa Woe Jarana, Woe Kobe dan Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, yang ingin memberikan pesan kepada perusahaan tambang agar tak mengganggu lahan adat mereka.

Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara (Malut), PT Weda Bay Nickel (WBN) memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar, terbesar di Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan lindung!  Tak hanya konflik agraria, kerusakan lingkungan pun di depan mata.

Sejak awal masuk pada 1999, perusahaan sudah berkonflik dengan masyarakat adat Sawai dan Tobelo Dalam. Kini, perusahaan bersiap eksploitasi. Pabrik sudah dibangun. Masyarakat adat terancam tersingkir dari tanah leluhur mereka.

Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut mendesak pemerintah meninjau kembali izin PT WBN. Jika tidak, dia memperkirakan, ke depan konflik agraria dan kerusakan lingkungan di kawasan ini akan makin parah. Terlebih lagi, perusahaan tambang ini bagian dari master plan percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia (MP3EI)—yang getol dipejuangkan oleh pemerintah meskipun kerab menciptakan masalah bagi masyarakat dan lingkungan.

Menurut dia, konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat terjadi di beberapa desa, seperti Desa Gemaf, Kobe, Sagea, Lelilef, dan Tobelo Dalam.  Perusahaan tambang masuk, hak-hak masyarakat adatpun terampas. “Perampasan tanah adat Suku Sawai, desa-desa mereka masuk konsesi. Juga dengan Suku Tobelo Dalam. Wilayah adat mereka dikuasai perusahaan,” katanya di Jakarta, Senin(3/6/13).

Tak hanya perampasan lahan, beberapa desa terancam di relokasi karena kampung masuk dalam konsesi perusahaan. Di desa-desa masyarakat adat itu ada sekitar 140 an keluarga. “Perusahaan langsung masuk saja tanpa bicara atau ada kesepakatan dengan warga, karena merasa berbekal izin pemerintah.”

Warga pun melawan. Protes berkali-kali tetapi seakan tak ada yang mendengar, baik pemerintah apalagi pengusaha. Pada 2012, saking emosi, warga membakar alat-alat perusahaan. Warga ditangkap, dan dipenjara. “Perusahaan gunakan polisi dan tentara, kejaksaan dan polisi hutan untuk mengkapling sepihak wilayah yang jadi perkebunan masyarakat itu.”

Para aparat pemerintah yang bertindak bak perpanjangan tangan perusahaan ini menakut-nakuti masyarakat dengan pasal-pasal yang bisa mempidanakan mereka. “Misal, warga tak boleh masuk hutan, dibacakan aturan terkait itu. Warga jadi takut ke hutan karena takut tertanggap.” Padahal, sejak dulu kala, hutan adalah tempat bergantung hidup masyarakat adat ini.

‘Tim’ itu juga mendatangi lahan-lahan warga dan meminta masyarakat keluar. Mereka memasang police line agar warga tak masuk.  Itu terjadi di lahan adat Suku Sawai, 23 April 2013.

Hutan adat telah ‘diberikan’ izin kelola kepada perusahaan oleh pemerintah. Apakah masyarakat yang sudah hidup turun menurun hidup di sekitar maupun di dalam hutan, harus tersingkir?” Belum lagi ancaman kerusakan ekologi jika perusahaan ini beroperasi. “Kini masyarakat adat kehilangan tanah dan sumber daya alam. Hutan dan tanah bagi dua suku ini adalah kehidupan mereka, bukan perusahaan tambang,” ujar Munadi.

Pius Ginting, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional mengatakan, proses penetapan wilayah masyarakat menjadi pertambangan tanpa melibatkan pertisipasi warga.

“Perusahaan dan pemerintah bikin kontrak karya 1996, ini tak libatkan warga terdampak. Jadi, kita minta harus ada evaluasi izin pertambangan ini. Keluarkan wilayah masyarakat adat dari kontrak karya. Ini bentuk rongrongan teritori warga,” ujar dia.

Dia mencontohkan, Suku Tobelo Dalam, masih hidup dari alam, bahkan beberapa dari mereka masih nomaden dan harus dilindungi. “Jadi, ruang berburu dan bertani masyarakat harus dikeluarkan dari konsesi perusahaan ini.”

Menurut Pius, posisi masyarakat adat seharusnya kuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Mei 2013 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.  Selama ini, pemerintah memberikan izin-izin kepada perusahaan di lahan adat dengan anggapan hutan adat itu hutan negara.

Padahal, pemerintah tak boleh sepihak menetapkan kawasan masyarakat adat sebagai hutan negara. “Hutan adat bukan hutan negara. Itu wilayah masyarakat adat, termasuk di Sawai dan Tobelo Dalam, harus dikeluarkan dari konsesi tambang.”

Jika tak dikeluarkan dari konsesi, perusahaan multinasional Eramet dari Prancis dan Mitsubishi asal Jepang ini, melanggar ruang wilayah masyarakat adat. “Ini pelanggaran serius sebagai perusahaan multinasional.”

Pius mengatakan, dalam waktu dekat akan ke Prancis, sekaligus menyampaikan kasus ini kepada pemerintah negara itu. “Agar ada evaluasi terhadap tambang ini.”

Kawasan tambang ini berada di tengah hutan primer yang masih bagus. Hutan inipun terancam terbabat.  Di pinggiran hutan mengalir Telaga Lor, dekat Desa Sagea. Air jernih dan bersih. Ia juga terancam tercemar. Padahal, masyarakat sekitar menggunakan air untuk kehidupan sehari-hari. Bukan itu saja, para perempuan yang akan melahirkan pun di sungai. “Mereka tak pakai Puskesmas, perempuan-perempuan melahirkan di air. Bagaimana jika sumber air tercemar?”

Belum lagi keragaman hayati di kawasan ini. Pius merasa aneh. Di kawasan ini ada program perlindungan satwa dari perburuan dan perdagangan dari Kementerian Kehutanan didukung bank dunia. “Satu sisi ada program perlindungan, tapi diberi izin tambang masuk yang potensi kerusakan alam sangat besar hingga mengancam keragaman hayati, satwa dan tumbuhan di sana.”

Kekhawatiran para pegiat lingkungan dan masyarakat akan kerusakan lingkungan bukan tak beralasan. Di beberapa pulau di sekitar, hutan hancur, dan lingkungan rusak terbabat tambang. Pius mencontohkan, Pulau Cape Buli dan Pulau Gebe.

Dalam situs PT Weda Bay Nickel, tertulis: commitment to people and nature. Mereka menyatakan beroperasi menggunakan standar kebijakan pembangunan berkelanjutan dari Eramet. Antara lain, mengelola risiko dan dampak kesehatan maupun lingkungan. Juga mempertahankan hubungan berbasis kepercayaan dengan para pemangku kepentingan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua.Benarkah?

Pada 2010, sekitar 6.000 masyarakat Prancis memberikan penghargaan Pinocchio kepada Eramet. Penghargaan ini memberikan label Eramet sebagai perusahaan Prancis terburuk dalam kategori lingkungan karena penambangan PT WBN.

 

Setelah aksi kesekian kali, pada Senin (3/6/13), warga kembali memblokir jalan yang dibuat perusahaan di wilayah adat. Masyarakat juga memberi plang-plang bertuliskan,” tanah adat,” di sepanjang lahan adat yang diklaim perusahaan. Foto: AMAN Malut

Kebun Suku Sawai diberi police line. Warga diminta keluar dari lahan yang sudah ‘diserahkan’ pemerintah kepada PT WBN, tanpa musyawarah dengan warga. Foto: AMAN Malut

Lahan adat diberi police line oleh aparat keamanan. Warga pun diminta pergi dari lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan. Foto: AMAN Malut


Weda Bay Nickel, Berkonflik dengan Masyarakat Adat, Hutan Lindung pun Terancam was first posted on June 7, 2013 at 11:08 am.

Tambang Arthaindo Berkasus, Warga Protes, Malah Dipanggil Polisi

$
0
0

Warga Podi, Petani dan nelayan korban tambang bergotong royong memagari jalan koridor tambang PT Arthaindo Jaya Abadi. Foto: Irsan/Presedium Korban Tambang Tojo Una-una

Mungkin ini bisa dibilang aneh bin ajaib. Perusahaan tambang PT Arthaindo Jaya Abadi, berkasus kehutanan kini diselidiki kepolisian diprotes warga tetapi malah warga yang dipanggil polisi. Sedang, penangangan kasus perusahaan yang diduga menggunakan kawasan hutan tanpa izin Kementerian Kehutanan, seakan terlupakan.

Pada 26 Juli 2013, warga Desa Podi, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah (Sulteng), protes dengan memagar jalan masuk tambang karena meskipun telah diberi police line, tetapi perusahaan terus beroperasi.

Enam orang warga di desa itu dipanggil Kepolisian Sektor Tojo dalam perkara dugaan penyerobotan tanah di wilayah itu. Mereka adalah Laif Labate, Lukman Dawala, Ayub Lamajido, Yamin Nuku, Marten, dan Obi.

“Pemanggilan enam warga ini buntut aksi pemagaran jalan masuk ke lokasi tambang oleh ratusan warga desa Podi pada 26 Juli 2013. Mereka dipanggil polisi sebagai saksi,” kata Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, kepada Mongabay, Senin (5/8/13).

Ahmad kecewa terhadap langkah Kepolisian Sektor Tojo. Walhi Sulteng menilai, apa yang dilakukan kepolisian adalah upaya teror dan intimidasi terhadap perjuangan warga untuk menyelamatkan lingkungan dan mempertahankan tanah. “Apalagi pemanggilan dilakukan di akhir Ramadhan. Warga sedang ibadah puasa dan mempersiapkan Lebaran.”

Ratusan warga yang memagar jalan masuk ke lokasi tambang Arthaindo  ini karena ada sekitar 30 hektar lahan warga rusak akibat aktivitas pertambangan perusahaan. Perusahaan ini mendapat izin usaha pertambangan (IUP) dari Pemerintah Tojo Unauna.

Selain itu, tindakan warga  hingga operasi pertambangan berhenti juga bentuk upaya penegakan hukum. Seharusnya, perusahaan  ini menghentikan penambangan, karena kepolisian setempat sedang menyelidiki terhadap perusahaan itu.  Perusahaan, katanya, diduga melakukan tindak pidana kehutanan dengan menambang dalam kawasan hutan tanpa izin Kementerian Kehutanan.

Tindakan warga, sebenarnya juga wujud kekecewaan terhadap kinerja kepolisian yang lamban bahkan terkesan akan menghentikan pemeriksaan pihak-pihak yang terkait perusahaan itu.”Padahal hasil investigasi Walhi Sulteng menunjukkan jelas Arthaindo melakukan tindak pidana kehutanan. Mereka menggunakan dan menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” ucap Ahmad.


Tambang Arthaindo Berkasus, Warga Protes, Malah Dipanggil Polisi was first posted on August 5, 2013 at 9:46 pm.

Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes, Berbuah Aniaya dan Penangkapan

$
0
0
Tangan warga yang terkena tembakan polisi kala datang akan menangkap petani yang dianggap penggerak massa. Foto: KPA

Tangan warga yang terkena tembakan polisi kala datang akan menangkap petani yang dianggap penggerak massa. Foto: KPA

Sudahlah jatuh terimpa tangga. Inilah nasib yang menimpa warga Pulau Wawonii. Mengapa tidak, tanah terampas tambang karena izin pemerintah daerah, kala melawan…aparat yang menjadi penjaga perusahaan datang menangkap dan menganiaya…

Aksi brutal aparat kepolisian kembali terjadi. Pada 3 Mei 2015 pukul 03.00,  aparat Polres Kota Kendari dan Brimob menembak, menganiaya sampai pelecehan seksual terhadap warga Desa Polara, Desa Tondonggito, Desa Waturai dan Desa Kekea di Pesisir Pulau Wawonii, Konawe, Sulawesi Tenggara. Lagi-lagi, kekerasan ini buntut aparat yang menjadi pengaman perusahaan tambang, PT Derawan Berjaya Mining (DBM), anak usaha Igawara Industrial Service and Trading PTE Ltd, yang berkonflik dengan warga. Sebanyak 14 orang menjadi korban.

Konflik warga dengan perusahaan sejak 2007 belum ada penyelesaian.”Dari empat warga ditangkap masih satu ditahan. Tindakan brutal kepolisian dengan melibatkan brimob dalam penanganan konflik agraria ini pelanggaran HAM serius,”  kata Dewi Kartika, Wakil Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di Jakarta, Minggu (10/5/15).

Kepolisian, katanya,  telah menyiksa dan sewenang-wenang, merendahkan martabat, dan penghukuman kejam. “Sebagai institusi, Kapolri harus bertanggung jawab mengusut tuntas bawahan yang mengabaikan prinsip HAM dan keadilan.”

Konflik bermula saat Bupati Konawe, mengeluarkan SK nomor 63 tahun 2007 yang memasukkan empat desa dalam IUP DBM. Empat desa itu Desa Polara, Tondonggito, Waturai dan Kekea seluas 10.070 hektar. SK bupati tanpa melibatkan masyarakat di pulau itu. Tanah leluhur mereka masuk wilayah tambang.

Protes warga sejak lama namun tak didengar, baik oleh perusahaan maupun pemerintah. Dikutip dari Sultranews, menyebutkan, warga protes lahan masuk izin berujung kesepakatan. Sayangnya, jani perusahaan tak ada yang terealisasi dari soal penggantian nilai lahan sampai perusakan makam keramat.

Masih menurut website ini, poin-poin perjanjian antara lain, kesepakatan ganti rugi lahan dan tanaman masyarakat. Untuk kelapa disepakati diganti rugi Rp3,5 juta per pohon, oleh perusahaan hanya ganti Rp1 juta. Pohon pala  Rp7 juta, realisasi Rp500.000 per pohon. Warga kecewa ganti rugi tanah hanya Rp1.200 per meter.

Tak hanya itu. Disebutkan juga perusahaan berjanji membangun sarana dan prasarana umum, seperti, jalan raya, listrik, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana olah raga dan bantuan organisasi kepemudaan. Lagi-lagi cuma janji. Situs budaya keramat warga, berupa makam Kapita Samaga, tokoh pahlawan sangat dihormati warga Batulu (Polara) rusak.   Janji manis perusahaan memperkerjakan masyarakat lokal dn pemberian beasiswa hanya isapan jempol.

Perusahaan juga tertutup terhadap warga. Soal dokumen berkaitan pengelolaan lingkungan perusahaan misal Amdal sama sekali tidak bisa diakses bahkan tak pernah sosialisasi.

Begitu juga dampak sosial dan lingkungan setelah  perusahaan hadir.  Konflik antara masyarakat dengan karyawan tambang sering terjadi dan  abrasi pantai dampak penggalian perusahaan. Bahkan, informasi dari Kelurahan Polara menyebut terjadi penyedotan pasir besar-besaran  dari pantai ke penampungan basecamp. Abrasi pantai terjadi sekitar perusahaan.

Puncak kemarahan pada Minggu (8/3/15).  Massa sekitar 500 orang, warga tiga desa/kelurahan, yakni Desa Kekea, Kelurahan Polara dan Desa Tondonggito, dari,  membakar aset DBM dari kantor, mess karyawan, enam truk dan tiga alat berat hexafator serta pabrik smelter DBM.    Mereka yang datang dari orang dewasa, laki-laki,  perempuan sampai anak-anaik. “Dalam aksi itu, warga tidak menyentuh atau melukai personil perusahaan seperti  pimpinan, karyawan maupun aparat keamanan yang berjaga,” tulis Sultranews

Peta tambang yang menggerumuni pulau kecil Wawonii. Foto: KPA

Peta tambang yang menggerumuni pulau kecil Wawonii. Foto: KPA

Pada 2 Mei 2015, kata Dewi, Kapolsek Waworete bersama delapan personil mendatangi rumah Hasim Lasao, etani Desa Polara, yang dianggap penggerak aksi masa. Kapolsek datang untuk menginformasikan penangkapan esok hari. Pukul 18.00, tiga pleton Polisi dan Brimob Sultra dan Polres Kendari tiba di Desa Batulu dan Tekonea menggunakan kapal.

Keesokan hari,  pukul 04.00, dua tim bersenjata lengkap memasuki Desa Batulu dan Tekonea ke rumah Ismail dan Hasim untuk menangkap Muamar dan Hasim Lasao. Kekerasan terhadap wargapun terjadi.

“Muamar tidak melawan disiksa 50 polisi dan ditodongkan senjata tepat di kepala. Ada empat orang ditangkap, yaitu Muamar, Hasrudin, Firman dan Ardiansyah. Friman dan Ardiansyah di tengah jalan dilepaskan polisi,” kata Dewi.

Warga kaget dan terbangun serta langsung menghadang Brimob untuk membebaskan mereka. Desakan itu dibalas tindakan brutal dengan menembaki dan menganiaya mereka. Adam dan Malinta terkena tembakan.

“Kami menuntut kapolri menindak aparat Brimob Polda Sultra dan Polresta Kendari. Kapolri harus mengusut tuntas kriminalisasi warga ini.”

Pulau Wawonii,  seluas 867,58 km persegi. Merujuk pada UU Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, seharusnya tak boleh ada pertambangan.

“Wilayah ini sebenarnya untuk perikanan, bukan pertambangan. Pemberian izin DBM menyalahi tata ruang. Pertambangan berdampak buruk pada ekologis dan masyarakat.”

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2010 menunjukkan, grup DBM punya empat konsesi tambang kromit di situ lewat izin SK nomor 23, 24, 25 dan 26 tahun 2010. Keempat SK diterbitkan hari bersamaan, 5 Januari 2010. Total konsesi 5.686 hektar. “Pemerintah harus mencabut izin perusahaan itu.”

Umbu Wulang, Koordinator Penggalang Dukungan Jaringan Advokasi Tambang mengatakan, tragedi Pulau Wawonii menunjukkan, pemerintah tidak berpihak pada rakyat pulau kecil. “Pulau kecil seharusnya dilindungi, bukan diekspolitasi. Sudah saatnya Presiden berhenti mengundang investor datang ke Indonesia dan menjarah lahan-lahan produktif rakyat termasuk pulau kecil,” katanya.

Priadi Talman, advokat Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengatakan, tindakan represif aparat membuat miris. Terlebih, tindakan ini dilakukan pada warga selama ini kurang mendapatkan akses pemerintah.

“Di lokasi ada terjadi pelecehan terhadap ibu petani. Ini sebelum subuh, waktu warga masih tidur. Apa ini utusan resmi komandannya? Atau oknum, kami masih selidiki. Kami akan laporkan ke Mabes Polri.” ”Kami mau melihat kesungguhan Kapolri baru bagaimana menangani ini secara internal dan keseluruhan.”

Menurut Ferry Widodo dari Aliansi Petani Indonesia kasus ini menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia.  Keadaan ini menunjukkan tidak ada komimten pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria.

“Konflik ini makin mengkhawatirkan. Pemerintah harus segera bentuk lembaga penyelesaian konflik agraria. Kita ingin dalam penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Konflik di Wawonii menunjukan kekerasan terjadi.  Ini menyalahi komitmen Polri.”

Ahmad Marthin Hadiwinata, Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan Koaliasi Rakyat untuk Perikanan mengatakan, keinginan Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia hanya omong kosong jika kasus pertambangan di pulau kecil terus terjadi.

“Wawonii pulau kecil dan dibagi-bagi dalam perusahaan besar. Warga Wawonii bikin aksi perlawanan karena banyak lahan milik mereka jadi wilayah pertambangan.”

Marthin mengatakan, dalam waktu dekat akan mengadukan permasalahan ini ke Komnas HAM, Mabes Polri, Kompolnas, KPK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”Jadi ini dapat menarik atensi perhatian lembaga nasional.
Kami juga akan audiensi dengan parlemen.”

Punggung warga yang terkena tembakan. Foto: KPA

Punggung warga yang terkena tembakan. Foto: KPA

Sumber: Koalisi nasional untuk Wawonii

Sumber: Koalisi nasional untuk Wawonii

 


Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes, Berbuah Aniaya dan Penangkapan was first posted on May 12, 2015 at 10:20 pm.

Konflik Lahan, TNI-AD Aniaya Petani Urut Sewu

$
0
0
Perusakan tanaman petani oleh TNI menggunakan eksavator karena  proyek pemagaran. Foto: dari Facebook  Sunu Chavez

Perusakan tanaman petani oleh TNI menggunakan eksavator karena proyek pemagaran. Foto: dari Facebook Sunu Chavez

Konflik lahan antara petani dengan TNI-AD di Pesisir Wiromartan, Kebumen, Jawa Tengah, memanas, Sabtu (22/8/15).  Kala warga demo, TNI malah membalas dengan memukul, menendang, dan menginjak serta  merusak tanaman pertanian.

Ketua Paguyuban Petani Kebumen Selatan (PPKS), Seniman, dihubungi Mongabay mengatakan, kekerasan TNI-AD terjadi ketika masyarakat pesisir selatan aksi penolakan pemagaran di lahan masyarakat. Ada 17 korban diidentifikasi, enam dirawat di Rumah Sakit Umum, Kebumen. Kepala Desa, Widodo Sunu Nugroho, juga menjadi korban aniaya TNI.

“Ada satu korban perempuan yang sedang hamil empat bulan, atas nama Ibu Sri Rohani warga Desa Wiromartan,” katanya.

Penolakan atas pemagaran TNI AD, katanya, karena warga dianggap tak memiliki bukti surat kepemilikan tanah. “Jika TNI memiliki surat-surat sah, silakan saja masyarakat digugat.”

Menurut dia, sekitar 30 desa akan terdampak dan kehilangan lahan karena pemagaran TNI ini. “Kami meminta Presiden bertanggung jawab atas tindakan brutal TNI, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata.”

Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD Setrojenar Mayor Infanteri Kusmayadi seperti dikutip Tempo.co mengatakan, sudah sosialisasi sebelum pemagaran. Dia mengaku, jenuh dengan konflik. Masyarakat, katanya, dibohongi hingga melawan. “Itu bukan tanah rakyat, tapi tanah negara. Silakan lewat jalur hukum. Jika kami kalah, kami akan angkat kaki,” kata Kusmayadi.

Komandan Distrik Militer 0709 Kebumen Letnan Kolonel Infanteri Putra Widya Winaya, juga dikutip Tempo.co mengatakan, tidak melarang petani demo. Dia berdalih, kedatangan personel TNI-AD bersenjata laras panjang, bukan menakuti, tetapi mengamankan.

Pemagaran tahun tetap dilaksanakan sepanjang delapan kilometer di lima desa. Total lahan akan dipagar 23 kilometer dengan lebar 500 meter.

Aksi penolakan warga terhadap upaya pemagaran yang dilakukan TNI AD di Pesisir Selatan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Demo ini dibalas pemukulan aparat TNI-AD yang berjaga terhadap para petani.  Foto: dari Facebook Sunu Chavez.

Aksi penolakan warga terhadap upaya pemagaran yang dilakukan TNI AD di Pesisir Selatan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Demo ini dibalas pemukulan aparat TNI-AD yang berjaga terhadap para petani. Foto: dari Facebook Sunu Chavez.

Dari sejarah konflik yang dikutip dan selamatkanbumi.com, menyatakan, warga sejak lama mendiami wilayah Urut Sewu, lalu datang TNI-AD pinjam lahan buat latihan uji coba senjata berat pada 1982. TNI membuat surat “pinjam tempat ketika latihan” kepada kepala desa. Belakangan “pinjam tempat” tidak lagi dilakukan, hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan.  Ujung-ujungnya, belakangan, lahan-lahan itu diklaim milik TNI-AD.  Bahkan, TNI-AD beri izin perusahaan eksplorasi tambang bijih besi di sana.

Ada bisnis tambang

Masih dikutip dari selamatkanbumi.com, pada 2008,  Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi. Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008, tertanggal 25 September 2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk penambangan pasir besi.

Pada tahun sama, izin eksplorasi pasir besi keluar dari pemerintah kepada MNC       Desa-desa yang masuk area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) para pamong desa yang hadir menolak perusahaan tambang. Hanya Desa Winomartan, melalui kepala desa (kala itu), mendukung rencana penambangan sepanjang menguntungkan masyarakat.

Januari 2011,    izin eksploitasi (IUP operasi produksi) MNC keluar. Pemerintah memberikan IUP produksi 10 tahun tanpa sosialisasi. Dalam surat izin produksi, dinyatakan luasan lahan 591,07 hektar , dengan 317,48 hektar tanah milik TNI-AD.

Warga aksi besar-besaran, sampai blokade dan dibalas pemukulan dan penembakan TNI-AD pada April 2011. Mei 2011, TNI-AD mencabut izin eksploitasi pasir besi. Ini berdasarkan surat Kodam IV Diponegoro, kepada Direktur PT. Niagatama Cemerlang, nomor B/6644/2011, April 2011, soal pemberitahuan MNC tak diizinkan oleh TNI survei lapangan, mengurus izin pertambangan pasir besi di Mirit.

Namun, pemerintah daerah mengubah RTRW, hingga peruntukan kawasan Urut Sewu menjadi wilayah pertambangan biji besi, latihan uji coba senjata berat, pertanian dan pariwisata. Warga protes, menuntut Urut Sewu jadi kawasan pertanian dan pariwisata. Tak digubris.

MNC pun masuk lagi, dan ditolak habis-habisan oleh warga Mirit, hingga hengkang pada Mei 2012, meskipun izin belum dicabut.

Pada Desember 2013, pemagaran tanah warga pada jarak 500 meter dari garis pantai di Pesisir Urut Sewu, merambah dua desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan.

Pemagaran mendapatkan penolakan keras dari warga. Rencana pemagaran lanjutan bergulir, hingga Sabtu (22/8/15), ini kembali warga protes dan dibalas aniaya TNI.

Kronologis pemukulan di Urut Sewu dari Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan dan Urut Sewu Bersatu:Pada pukul 07.30 – 09.45:
- Warga terdiri dari petani, pemuda dan perempuan berkumpul di Utara Jalur Jalan Daendels di Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kebumen, Jawa Tengah.

- Saat bersamaan, di ruas jalan seputar gerbang Kantor Pemerintah Kebumen dan DPRD, di timur Alun-alun Kebumen, baru selesai apel pasukan berseragam PHH, polisi termasuk polwan, tentara dan jajaran intel berpakaian sipil

- Di lokasi kumpul massa, disampaikan orasi pembekalan oleh Kepala Desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho dan membaca doa bersama dipimpin oleh ustadz setempat

- Massa sekitar 100-an beriringan naik sepeda motor menuju lokasi pemagaran TNI di 750-an meter arah selatan. Dari massa yang bergerak, ada petani dari desa lain di Kecamatan Mirit dan desa-desa lain yang ikut bersolidaritas, yakni Desa Kaibon Petangkuran, Desa Setrojenar dan Desa Ayamputih.

Pukul 09.56 – 10.15:

- Massa aksi tiba di lokasi dan langsung menuju titik pemagaran di sisi barat jalan akses menuju pesisir.

- Di lokasi pemagaran ada dua truk militer dan satu alat berat eskavator tengah memagar.

- Beberapa petani yang sedang bekerja tidak jauh dari lokasi pemagaran ikut bergabung dengan warga, di lahan tanaman cabai dan lahan-lahan tanaman lain pada zona itu juga terlanggar, (dirusak).

- Massa protes, pemagaran yang menerjang lahan-lahan petani sebagai ilegal, tidak berizin, tanpa pamit ataupun pemberitahuan ke pemerintah desa.

- Salah satu warga yang membawa megaphone menyampaikan maksud kedatangan dan meminta pimpinan proyek pemagaran TNI menemui warga.

Pukul 10.15 – 10.30:
- Kades Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho, yang mengiringi warga, berpakaian dinas menyampaikan orasi melalui megaphone diantara warga dan pasukan militer dari satuan Zipur.

- Dalam orasi Kades Sunu, menyampaikan pandangan, tiada dasar legalitas proyek pemagaran, tanpa pemberitahuan ke pemerintah desa, dan hal-hal lain yang justru mencederai profesionalitas institusi TNI.

- Kades juga meminta berkomunikasi dengan komandan yang bertanggung jawab memimpin proyek pemagaran di pesisir desa.

- Seruan permintaan Kades Sunu ini dibalas suara musik dangdut dukungan sound-system power besar yang telah disiapkan tentara di lapangan.- Pada rentang waktu sama, aktivitas eskavator dengan roda berantai menggilas tanaman tetap berjalan sebagaimana sebelumnya, yakni mengangkut dan membongkar bawaan material pemagaran.- Massa rakyat yang melihat spontan meneriaki kerusakan tanaman cabai petani.

Pukul 10.30 – 10.40:
- Saat Kades Sunu menyampaikan orasi dan permintaan berkomunikasi dengan komandan lapangan tak digubris, tentara merangsek maju menutup titik pemagaran.

- Dari jarak 200-an meter arah barat, bergerak pula segerombolan tentara menuju lokasi titik pemagaran.

- Kades Wiromartan yang masih mencoba menyerukan agar tentara tidak bertindak kekerasan, malah langsung dijawab pemukulan membabi-buta.- Pukulan oknum TNI melukai kepala Sunu. Darah mengucur menutupi wajah yang membuat Kades ini menyingkir tetapi tidak melarikan diri dari lokasi karena melihat warga desa juga dipukuli pentungan tentara.

- Sejauh tujuh meter dari titik penyerangan pertama, terlihat pemuda dipukul keroyokan oleh tentara, terjatuh dan diinjak-injak sepatu lars. Korban jatuh pingsan di lokasi.

- Ada belasan lagi warga lain, termasuk perempuan, tercerai-berai kena pukulan toya tentara, terdengar pula suara tembakan peluru hampa di lokasi.- Kebrutalan militer ini menyusul menimpa Kades Sunu hingga jatuh pingsan.

Pukul 10.45 – 11.00:
- Kades Sunu bersama satu warga yang pingsan di lokasi serangan militer, dievakuasi menggunakan sepeda motor ke Puskesmas Kecamatan Mirit.

- Saat warga mengevakuasi korban yang membutuhkan pertolongan ini, ternyata ada mobil patroli polisi yang hanya diparkir diam dalam jarak 100 meter sebelah utara lokasi serangan, tanpa melakukan tindakan apapun.

-Ibu-ibu juga ikut diserbu dan satu korban bernama Sri Rohani sedang hamil jatuh pingsan. Dia dibawa ke Puskesmas Mirit. Tentara terus mengejar massa yang membubarkan diri.

- Sebanyak 17 korban kerusuhan dilarikan ke Puskesmas Mirit dan enam mengalami luka berat dilarikan RSUD Kebumen. Warga memiliki dokumentasi rekaman dari ponsel berdurasi 30 menit ketika terjadi kerusuhan.

Enam orang yang dilarikan ke RSUD Kebumen:
1. Muchlis, terperusuk ke lubang galian, diinjak dan dipukul oleh personil tni hingga pingsan.
2. Kades Sunu, kelingking sebelah kiri patah, kepala sobek akibat pukulan dan tendangan
3. Prayogo, kepala sobek, kedua tangan memar, dan pingsan
4. Ratiman, kepala kena pukulan di dua titik, tangan kanan dan kiri memar, pingsan
5. Rajab, rahang kiri patah, tengkuk, paha memar, dan pingsan
6. Awit, menerima tendangan di selangkangan yang cukup parah, luka tangan dan pukulan di kepala.


Konflik Lahan, TNI-AD Aniaya Petani Urut Sewu was first posted on August 22, 2015 at 7:06 pm.

Ribuan Warga Lumban Dolok Tolak Tambang Timah Hitam

$
0
0

RIBUAN warga Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut) menolak perusahaan tambang timah hitam masuk ke sana. Keputusan ini hasil dari musyawarah masyarakat Desa Lumban Dolok, pada 23 April 2012. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menerima berkas yang tertera 2.658 tanda tangan penolakan terhadap PT. Bahana Multi Energi (BME).

Musyawarah masyarakat yang digelar di balai desa secara tegas menghasilkan sikap warga. Intinya warga menolak kehadiran dan keberadaan operasional usaha pertambangan PT. BME untuk mengelola dan menguasai pertambangan timah hitam (galena).

Surat penolakan tertanggal 24 April 2012 ditujukan pada Direktur Utama PT. BME dan Bupati Mandailing Natal. Dilampirkan pula 2.658 tanda tangan warga yang menyatakan penolakan.

Disebutkan dalam surat itu, yang menolak seluruh lapisan masyarakat Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu, Mandailing Natal. Terdiri dari 1.200 rumah tangga atau sekitar 7.500 jiwa. Mereka sebagai pemilik wilayah lokasi tambang galena di Tor/Dolok Aek Latong dan Tor/Dolok Aek Siancing.

Pihak yang ditolak dalam surat itu disebutkan secara rinci, PT. Bahana Multi Energi atas nama : Dading (Dinding) Kristianto PT. BME merupakan pemegang izin eksplorasi dengan SK Bupati No 540/030/K/2008, tanggal 18 Januari 2008.

Perpanjangan izin eksplorasi dengan SK Bupati No 540/024/K/2010, tanggal 19 Januari 2010. Pemegang IUP Operasi Produksi dengan SK Bupati No 540/497/K/2010 tanggal 11 Agustus 2010, seluas 694 hektare dengan rencana produksi 10.000 ton per bulan.

Kawasan itu merupakan sumber air satu-satunya yang menghidupi dan menunjang kelangsungan kehidupan masyarakat selama ini. Baik, untuk pertanian maupun kebutuhan sehari-hari. Apabila kawasan ini dieksploitasi dengan skala besar, tak dipungkiri dan pasti akan berdampak buruk serta terjadi malapetaka kekeringan dan bencana lain seperti banjir.

Dari situs Jatam, Kepala Desa Lumban Dolok Zulhakim Hasibuan, mendukung apa yang dihasilkan dalam musyawarah warga. “Masyarakat menyatakan dan bersikap bulat dan tegas menolak keberadaan PT. BME di Desa Lumban Dolok, Siabu.” Masyarakat juga meminta Bupati Mandailing Natal menarik dan mencabut izin untuk PT. BME.


Ribuan Warga Lumban Dolok Tolak Tambang Timah Hitam was first posted on May 16, 2012 at 10:18 am.

Bupati Cabut Izin Tambang Timah Hitam BME

$
0
0

USAHA keras warga Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara (Sumut) menolak tambang timah hitam (galena), membuahkan hasil.

Bupati Mandailing Natal, akhirnya mencabut izin PT Bahana Multi Energi (PT BME). Operasi tambang ini berpotensi kuat mengancam sumber air warga.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Andrie S Wijaya mengatakan, bupati akhirnya mendengar keinginan warga desa. “Ini kabar baik. Veto rakyat, ketidakterimaan rakyat ada hasilnya,” katanya, Senin(4/6/12).

Menurut dia, penolakan warga terhadap keberadaan tambang makin besar. Sebab, makin banyak konflik terjadi antara masyarakat dan perusahaan tambang.  Penolakan warga berbuah pencabutan izin ini seperti terjadi di Bima. “Di sana konflik warga dan perusahaan tambang, ada tiga korban. Akhirnya izin dicabut.”

Pada Rabu(30/5/12), ribuan warga Desa Lumban Dolok, mendatangi kantor DPRD Madina. Seperti dikutip dari Mandailing Online, warga minta agar DPRD Madina segera merekomendasikan pencabutan izin dan menghentikan kegiatan PT BME. Ini perusahaan tambang batu galena.

Warga desa bersama tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh agama juga kepala desa, tiba di kantor DPRD Madina sekitar pukul 11.00 waktu setempat. Mereka menggunakan ratusan sepeda motor dan belasan mobil angkutan umum membawa spanduk dan poster.

“Lumban Dolok tolak Tambang PT. BME” “DPRD adalah wakil Rakyat untuk menyampaikan Aspirasi Masyarakat Jangan Jadi Kambing Hitam” “Jangan Rampas Tanah Rakyat” “Tunjukkan Dirimu sebagai Wakil Rakyat” dan “Bupati Jangan Jadi Pengecut”. Itu bunyi sebagian poster-poster yang dibawa warga.

Sebelum itu, medio Mei lalu, Jatam menerima berkas penolakan warga.  Penolakan ini hasil dari musyawarah masyarakat Desa Lumban Dolok, pada 23 April 2012.

Di berkas ini tertera 2.658 tanda tangan penolakan terhadap  PT BME. Musyawarah masyarakat yang digelar di balai desa secara tegas menghasilkan sikap warga.

Intinya, warga menolak kehadiran dan keberadaan operasional usaha pertambangan PT. BME untuk mengelola dan menguasai pertambangan galena.

Kawasan itu merupakan sumber air satu-satunya yang menghidupi dan menunjang kelangsungan kehidupan masyarakat selama ini. Baik, untuk pertanian maupun kebutuhan sehari-hari.

Apabila kawasan ini dieksploitasi dengan skala besar, tak dipungkiri dan pasti akan berdampak buruk serta terjadi malapetaka kekeringan dan bencana lain seperti banjir.

 

 


Bupati Cabut Izin Tambang Timah Hitam BME was first posted on June 4, 2012 at 5:15 pm.

Lebih 700 Orang Tewas Membela Hak Hutan dan Lahan

$
0
0

Indonesia, termasuk negara dengan banyak pembunuhan yang memiliki jaringan kuat keterlibatan sektor swasta, baik domestik maupun internasional.

PADA 24 Mei 2011, aktivis hutan José Cláudio Ribeiro da Silva dan istrinya, Maria do Espírito Santo da Silva, ditembak mati dalam serangan di negara bagian Brazil. Seorang aktivis legendaris, José Cláudio Ribeiro da Silva, seorang diri, secara terbuka mengkritik pembalakan liar di negara yang penuh dengan deforestasi ini.

Para pembunuh bahkan memotong telinga da Silva. Ini praktik umum pembunuh di Brazil untuk membuktikan kepada majikan bahwa mereka telah menjalankan tugas dengan baik.

Kurang dari setahun sebelum dibunuh, da Silva memperingatkan saat bicara di TEDx. “Saya bisa mendapatkan peluru di kepala pada setiap kesempatan … karena saya mencela penebang dan produsen arang.”

José Cláudio Ribeiro da Silva berbicara di TEDx Amazon pada tahun 2010, hanya beberapa bulan sebelum dia dan istrinya dibunuh karena aktivitas mereka.

Di banyak bagian dunia, seseorang bertahan untuk hutan, tanah, atau lingkungan menjadi sangat berbahaya. Sebuah konferensi baru oleh Global Witness menemukan, 711 aktivis, wartawan, dan anggota masyarakat dibunuh dalam membela atau menyelidiki hak atas tanah dan hutan antara 2002 dan 2011.

Pembunuhan ini meningkat: tahun lalu 106 orang tewas membela hak atas tanah dan hutan, jumlah tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

“Tren ini poin untuk pertempuran global yang makin sengit untuk sumber daya, dan panggilan penyadar bagi delegasi di Rio+. Lebih dari satu orang seminggu dibunuh karena membela hak-hak hutan dan lahan,” kata Billy Kyte, juru kampanye  Global Witness, dalam siaran pers  merujuk pada KTT PBB Rio +20 pekan ini.

Dari dokumentasi Golbal Witness, Brazil sendiri menyumbang lebih dari setengah pembunuhan, total 365 orang tewas selama 10 tahun terakhir. Menyusul Peru, Kolombia, dan Filipina. Di negara-negara,  seperti Kamboja, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo, banyak pembunuhan memiliki link kuat keterlibatan sektor swasta, baik domestik maupun internasional.

Kebanyakan pembunuhan terjadi di Amerika Latin dan Asia dengan jauh lebih sedikit dilaporkan di Afrika, namun kemungkinan karena Global Witness kurang informasi.

“Karena informasi tentang pembunuhan terfragmentasi dan langka, kematian sangat mungkin lebih tinggi dari yang kita mampu mengidentifikasi.” “Laporan ini tidak termasuk ratusan ribu korban intimidasi dan kekerasan terkait sengketa atas akses ke lahan dan hutan. Atau pembunuhan dari mengklaim lahan dan hutan terkait ekstraksi minyak dan gas.”

Sebagai contoh, di Republik Demokratik Kongo, konflik antara penduduk lokal dan perusahaan penebangan, SIFORCO, mengakibatkan sejumlah warga desa dipukuli dan diperkosa oleh pasukan keamanan negara.

Bentrokan juga mengakibatkan kematian Frederic Moloma Tuka, 70 tahun. Meskipun SIFORCO meminta pemerintah membantu menengahi konflik,  tetapi tetap saja tak ada yang tanggung jawab atas kekerasan itu.

Menurut laporan itu, keadilan jarang diberikan kepada korban pembunuhan. Pembunuh jarang diadili dan mereka lebih sering dibebaskan. Di Brazil, kurang dari 10 persen pembunuhan itu masuk ke pengadilan, hanya satu persen yakin dihukum.

Laporan ini juga mencatat, dari 50 kasus pembunuhan di Filipina terkait lahan dan masalah lingkungan-biasanya protes proyek pertambangan besar -tidak sampai ke penuntutan.

“Diduga pelaku pembunuhan ini [di Filipina] adalah polisi, militer, dan pasukan keamanan swasta dari perusahaan swasta,” sebut laporan.

Pembunuhan terkait persengketaan tanah di pedesaan Brazil, sejak 2000 total 383 orang.

Global Witness mendesak, masyarakat internasional mendukung penuh penyelidikan  ini. Lalu, memastikan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (Free, prior and informed consent /FPIC) untuk masyarakat lokal yang terkena dampak proyek-proyek industri. Juga memastikan pasukan keamanan negara dan keamanan swasta nasional mengikuti hukum dan kode etik internasional.

“Masyarakat internasional harus menghentikan aksi jahat untuk hutan dan lahan ini berlanjut. Ini belum pernah lebih penting untuk melindungi lingkungan dan tidak pernah lebih mematikan,” kata Kyte.

Pembunuhan atas nama hutan dan tanah berlanjut. Hanya dua bulan lalu, pada 26 April, aktivis hutan Kamboja terkenal, Chut Wutty, tewas saat mengawal dua wartawan ke lokasi illegal logging. Dia dihentikan oleh polisi militer, setelah bentrokan ditembak mati.

Detil kematian Wutty masih misterius. Karena militer telah memberikan berbagai cerita untuk menjelaskan bagaimana Wutty, serta salah satu tentara, tewas. Sebuah penyelidikan sedang berlangsung. Diterjemahkan oleh Sapariah Saturi


Lebih 700 Orang Tewas Membela Hak Hutan dan Lahan was first posted on June 20, 2012 at 1:40 am.

Hentikan Penambangan yang Kriminalisasi Rakyat dan Rusak Lingkungan

$
0
0

ORGANISASI lingkungan dan lembaga hukum membuat pernyataan bersama meminta pemerintah menghentikan operasi pertambangan yang mengkriminalisasi rakyat dan merusak lingkungan.

Mereka juga mengecam ancaman pemerintah Jepang, agar Indonesia melangengkan ekspor material mentah bahan tambang ke Jepang lewat sidang WTO.

Pius Ginting, Manager Kampanye Tambang Walhi mengatakan, aksi ke Mabes Polri dan Kedutaan Jepang, Kamis(21/6/12) untuk memprotes kekerasan, dan kriminalisasi terhadap rakyat. “Juga kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Sulawesi,” katanya.

 

Warga korban tembak di Picuan Lama. Foto: dokumen

Dia mengatakan, alam dan masyarakat Sulawesi terancam disingkirkan penambangan yang begitu marak. Pencemaran lingkungan di Buyat, Sulawesi Utara tahun 2004, teryata tak menjadi pelajaran.

Di Sulawesi Tengah, dalam  enam tahun terakhir izin usaha pertambangan dikeluarkan pemerintah daerah mencapai 368. Selain izin usaha pertambangan (IUP), pemerintah pusat juga mengeluarkan izin kepada beberapa kontrak karya baik mineral maupun migas Donggi Senoro– investasi dari Jepang.

Deretan panjang perluasan investasi di Sulteng menciptakan banyak problem, baik kemiskinan, pencemaran lingkungan, kriminalisasi. Bahkan kematian akibat penembakan aparat terhadap warga makin massif dalam melindungi aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi  oleh perusahaan.

Kemiskinan akibat pengambilan ruang hidup produktif rakyat, sebagai nelayan, petani oleh industri ekstraktif membuat rakyat banyak protes. “Aksi protes ini dihadapi dengan kekerasan dan kriminalisasi oleh aparat Kepolisian.”

Di Kabupaten Morowali, tragedi penembakan tujuh orang warga Kolo Bawah berujung pada kematian dua orang,  yaitu Yurifin dan Marten Datu Adam.

Warga Kolo Bawah, protes karena tuntutan warga terhadap PT. Job Medco, yang tak pernah ditepati.  Demonstrasi warga dipicu penimbunan karang Tiaka tempat para nelayan menghilangkan ruang tangkap ikan warga.

Setelah karang Tiaka dikuasai PT. Job Medco, warga tidak lagi bisa mengakses tempat  itu. Walaupun sejak sebelum kemerdekaan Indonesia  suku Bajo di Kolo bawah telah menguasai wilayah Tiaka.

Warga protes tambang jadi korban tembak. Foto: dokumen

Di Morowali, perusahaan Nikel PT Gema Ripah Pratama dan PT Eny Pratama Persada terus beraktivitas pengrusakan dan pembabatan hutan di cagar alam Morowali.

“Perusahaan ini tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan. Tidak ditindak.” Namun, petani yang biasa mengumpulkan batu di sungai, di pinggiran cagar Alam Morowali untuk bahan bangunan terus di usir dan diteror oleh aparat setempat di Kecamatan Sayo Jaya.

PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), perusahaan Nikel  paling produktif  mengeksploitasi di wilayah hutan. Walau pemerintah mengeluarkan Permen No. 7 Tahun 2012, kegiatan eskpor mentah bahan tambang terus berlangsung.  Bahkan, perusahaan ini menggunakan jasa Brimob untuk menjaga keamanan dalam beraktivitas.

Menurut Pius, kerusakan hutan di Bahodopi perlu dihentikan karena berdampak pada sumber air yang dikonsumsi masyarakat setempat. Tahun 2011, Jatam Sulteng dan Walhi telah mengirimkan surat protes untuk menutup aktivitas PT. BDM kepada Presiden dengan dukungan 24.000 orang seluruh dunia.

Di Manado, Sulawesi Utara, gejolak perlawanan rakyat dilakukan oleh masyarakat desa Picuan yang menolak PT. Sumber Enerji Jaya (SEJ), berhujung pada penembakan dua orang Petani di Desa  Picuan, Kabupaten Minahasa Selatan. Penembakan oleh aparat karena warga menolak wilayah mereka ditambang.

Di Gorontalo, Kawasan Taman Nasional Lai Wanggi Wanggameti diubah menjadi kawasan pertambangan. Kondisi ini mengancam keragamanhayati hilang dan memperparah banjir bagi Kota Gorotalo, dan sekitar.

Untuk itu, gabungan organisasi ini menuntut Mabes Polri. Tuntutan itu, pertama, menindak tegas dan memproses secara hukum aparat yang menembak rakyat yang menolak  ruang hidup dijadikan pertambangan.

Kedua,  menuntut kepolisian bertindak tegas terhadap PT. Job Medco Tomori, PT. Bintang Delapan Mineral, PT. Mulia Facipic Resources, PT. Gema Ripah Pratama, PT Eny Pratama Persada, PT. Sumber Enerji Jaya. Perusahaan-perusahaan ini telah melakukan kejahatan kemanusian dan pengrusakan lingkungan hidup.

Ketiga, menuntut pemerintah pusat moratorium izin pertambangan di seluruh Indonesia. Sebelum ada penetapan wilayah pertambangan yang melibatkan persetujuan rakyat, berdasarkan putusan MK (PUU NO 32/VII/2010).

Peluru yang ditemukan. Foto: dokumen Walhi

Kecam Jepang

Gabungan organisasi juga mengecam Pemerintah Jepang. Kementerian Perdagangan Jepang mengancam membawa Indonesia ke sidang WTO bila melarang ekspor material mentah tambang ke Jepang.

“Ancaman ini berarti paksaan agar Indonesia melanjutkan kegiatan penambangan yang merusak lingkungan, penuh kekerasan dan pelanggaran HAM.” “Ini  bertentangan dengan semangat dasar KTT Bumi.”

Untuk itu, gabungan organisasi ini meminta kepastian beberapa hal kepada Kedutaan Besar Jepang.

Pertama, memastikan material tambang yang mereka pakai tidak merusak lingkungan Indonesia dan menimbulkan kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat Indonesia.

Kedua, memastikan agar investasi Jepang tidak terlibat dalam perusahaan yang mengambil ruang hidup dan ruang kegiatan perekonomian produktif rakyat, seperti di Tiaka-Morowali.

Gabungan organisasi ini terdiri dari, Eksekutif Nasional Walhi, Jatam Sulteng, LBH Luwuk, LBH Manado, LBH Sulawesi Tengah, LBH Donggala, dan Yayasan Tanah Merdeka Sulteng, LBH Sultra, Walhi Sultra, serta Jatam.

 

 


Hentikan Penambangan yang Kriminalisasi Rakyat dan Rusak Lingkungan was first posted on June 21, 2012 at 1:14 pm.

Sanggau Akomodir Peta Adat Dalam Rencana Tata Ruang

$
0
0

KABUPATEN Sanggau, Kalimantan Barat, sedang menyiapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang patut menjadi contoh. Pemerintah Daerah (Pemda)  Sanggau menyusun RTRW secara partisipasif dengan memasukkan kawasan pedesaan, sampai hutan adat.

Martua Sirait peneliti dari  International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) mengatakan, penyusunan RTRW ini cukup partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil, seperti masyarakat adat.  Dengan momentum perencanaan RTRW kabupaten ini, disiapkan juga One Map Kabupaten Sanggau.

Pemerintah Kabupaten menghimpun seluruh data perizinan baik itu tambang kebun dan hutan, data alokasi lahan dengan mengacu peta moratorium revisi II, hutan lindung, kawasan bududaya dan lain-lain.  “Juga data-data penguasaan lahan seperti pengukuhan kawasan hutan, hak guna usaha, hak milik, hak adat dan lain-lain,” kata Martua.

 

Grafis konflik yang berkaitan dengan sawit di Indonesia. Penyusunan RTRW partisipasif ini untuk menghindari konflik-konflik yang saat ini kerap terjadi antara masyarakat dan perusahaan.

Peta ini, diharapkan terus dilengkapi dan menjadi peta satu satunya serta acuan bagi perencanaan Kabupaten Sanggau, ke depan.

“Ini patut dicontoh, sebuah langkah maju membuat perencanaan RTRW partisipatif dengan berupaya mengakomodir berbagai data, seperti hutan adat, desa-desa dan lain-lain.”

Menurut dia, gerakan One Map yang dicanangkan pemerintah pusat tidak akan berjalan jika tidak direspons sampai tingkat kabupaten. Tentu,  dalam melengkapi data melibatkan masyarakat sipil. “Ini sangat penting dalam perencanaan tata ruang secara partisipatif.”

Untuk mempersiapkan ini, Pemda Sanggau menyelenggarakan lokarya tehnis. Dari kegiatan ini, telah berhasil dikumpulkan data-data, diidentifikasi apa hambatan tehnis dan non tehnis dalam membangun One Map di Kabupaten Sanggau.

“Juga dikumpulkan 15 wilayah adat, hutan dan kampung yang telah dilakukan pemetaan partisipatif. Ini difasilitasi PPSDAK-Pancur Kasih dan YPSBK. Diharapkan masyarakat diakomodir dalam RTRW Kabupaten Sanggau menjadi kawasan perdesaan,” ujar dia.

Dalam Undang Undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007, revisi UU No 24 tahun 1992), telah memberikan ruang bagi wilayah ini masuk sebagai kawasan perdesaan RTRW kabupaten. Begitu juga dalam rencana detail tata ruang (RDTR) wilayah kabupaten.

Hal ini, ucap Martua, ntuk menjawab masalah-masalah seperti pemberdayaan masyarakat perdesaan, antara lain pengembangan lembaga perekonomian perdesaan, termasuk kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan kegiatan kehutanan.

Lalu, mempertahankan kualitas lingkungan hidup, konservasi sumber daya alam, pelestarian warisan budaya lokal, mempertahankan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan sampai menjaga keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.

 

Peta konflik lahan

 


Sanggau Akomodir Peta Adat Dalam Rencana Tata Ruang was first posted on June 27, 2012 at 5:58 am.

Saksi Ahli: Hormati Hak Masyarakat Adat

$
0
0

SIDANG lanjutan pengajuan judicial review Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) terhadap UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, Rabu(27/6/12) menghadirkan saksi ahli Dr Maruarar Siahaan.

Maruarar menjelaskan, hak-hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas budaya harus dihormati.  “Karena konstitusi menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam konvensi internasional,” katanya saat bersaksi.

Untuk itu,  hak ini harus dapat ditentukan secara konseptual, lalu dilindungi secara efektif. Menurut dia, pengakuan juridis secara internasional ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries.

Semangat melindungi lemah, hingga kerap kali mereka berhadapan perusahaan. Jadi, perlindungan harus relevan dengan perlindungan masyarakat hukum adat.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang tinggal di hutan dekat Jambi. Mereka satu dari banyak korban perusakan hutan yang masif di wilayah ini dan menimbulkan konflik. Foto: Greenpeace

Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau dan Jaelani dari komunitas adat Orang Rimba juga hadir sebagai saksi korban.

Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau mengatakan, masyarakat adat Punan memiliki ketergantungan tinggi pada hutan. Ini tergambar dari falsafah,” Lunang telang otah ine. Artinya, hutan adalah air susu ibu, tak ada hutan, matilah orang Punan.

Masyarakat adat Punan Dulau adalah korban dari kebijakan pemindahan penduduk lokal. Mereka dipindahkan pada 1970-an oleh Departemen Sosial. Alasannya, agar masyarakat yang tinggal di pedalaman mendapatkan akses dan fasilitas yang bisa dijangkau program pemerintah.

Namun, kata Kaharuddin, tak semua masyarakat Punan Dulau pindah ke wilayah yang sudah ditentukan pemerintah. Ada 40 keluarga memilih bertahan dan tetap tinggal di wilayah adat yang memiliki hutan luas. “Masih lebat lestari di hulu sungai Magong itu,” katanya.

Tahun 1988, salah satu perusahaan kayu besar bernama PT. Intracawood Manufacturing beroperasi wilayah hutan adat milik orang Punan Dulau. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi hak pengelolaan hutan (HPH) seluas 226.326 hektare (ha), berlaku 75 tahun.  Setelah diprotes, Menteri Kehutanan merevisi izin ini menjadi 45 tahun.

“Masyarakat adat Punan Dulau sudah kehilangan sumber kehidupan akibat operasi perusahaan kayu itu. Kini tak ada lagi yang tersisa di hutan. Semua sumber daya hutan habis dibabat. Kini orang Punan Dulau hidup miskin di atas tanah adatnya.” Kaharuddin kepala desa di sana.

Saksi korban kedua dari komunitas adat Orang Rimba. Jaelani, atau akrab disapa Tumenggung Tarib, mengungkapkan, kehidupan komunitas mereka hidup bergantung pada sumber daya hutan.

Orang Rimba adalah komunitas adat yang hidup dari hasil meramu hutan. Mereka tinggal dan hidup di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi. Sejak ruang hidup mereka dinyatakan sebagai kawasan konservasi, akses Orang Rimba terhadap hutan dibatasi.

“Kami menempati hutan yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.”

Hingga akhir tahun 2010, paling sedikit ada 50 kelompok kecil Orang Rimbo menyebar di kawasan TNBD. “Bahkan kami terpaksa tinggal di desa-desa sekitar TNBD untuk memulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa,” ucap Temenggung Tarib.

Mereka makin terpinggirkan karena luasan hutan tempat tinggal dan mencari kehidupan makin sedikit.

Bagi Orang Rimbo,  hutan adalah rumah dan sumber kehidupan. Sebagian besar Orang Rimba tinggal di hutan dan menerapkan kearifan lokal dan hukum adat warisan leluhur mereka.


Saksi Ahli: Hormati Hak Masyarakat Adat was first posted on June 28, 2012 at 12:32 pm.

Label Ekonomi Hijau, Khawatir Makin Sengsarakan Rakyat

$
0
0

KONSEP ekonomi hijau (green economy) dinilai menjadi mimpi buruk karena bisa menjadi ajang pembebasan investasi asing masuk. Kondisi ini, berpotensi menurunkan derajat kehidupan masyarakat.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menanggapi konsep green economy yang diusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.

Bagi Jatam, green economy masuk dalam lorong derita Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan membagi kepulauan berdasarkan kebutuhan bisnis bagi pemodal. Jelas, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) punya peran dalam perencanaan ekonomi rakyat Indonesia ini.

Aksi teatrikal kesepakatan antara pemerintah dan investor. Foto: Sapariah Saturi

Jatam khawatir, konsep ini malah memberikan ruang sebesar-besarnya bagi investor dan makin mendesak kehidupan masyarakat. Sebab, saat ini saja, begitu banyak korban masyarakat akibat ulah investor, salah satu perusahaan tambang.

Jatam pun menggelar aksi teatrikal di depan kantor Bappenas Jakarta, Jumat(29/6/12). Dalam aksi itu menggambarkan pemerintah berusaha menjual ‘potensi’ kepada investor. Terjadi tawar menawar.

Pendekatan terhadap warga agar menerima usaha mereka pun dilakukan. Waga menolak. Namun, kesepakatan di level pemerintah dan pengusaha tetap dilakukan. Bisnis tambang pun tetap jalan. Alhasil, digambarkan petani sayur mayur gagal panen. Nelayan kesulitan menangkap ikan karena terkena limbah tambang. Rakyat kecil lagi-lagi menderita…

Aksi Jatam di depan Bappenas. Foto: Sapariah Saturi

A Harris Balubun dari Jatam mengatakan,  pertambangan yang ada saat ini sudah terbukti banyak merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat. “Kami minta Bappenas arif dalam mengembangkan pusat-pusat ekonomi. Tingkatkan ekonomi rakyat jangan hanya berorientasi pada usaha besar,” kata Harris.

Saat ini, kehidupan masyarakat lokal, masyarakat adat banyak tersingkirkan oleh kehadiran perusahaan-perusahaan ini.

Indonesia, sebagai negara kepulauan, sudah dikavling berdasarkan komodifikasi ekonomi. Saat ini, 200 warga sekitar Teluk Tomori-Teluk Tolo, Morowali mengalami penghancuran generasi.

Pesisir pantai rusak, laut biru menjadi merah  karena usaha penambangan nikel. “Belum lagi tiga warga Sumba ditahan akibat kriminalisasi aparat terhadap penolakan penambangan mangan.”

Bappenas, kata Harris, telah merancang Indonesia menjadi barang dagangan bagi investor asing. Kini,  sekitar 71 persen Kota Samarinda merupakan konsesi pertambangan.  “Jalur sutra perdagangan kembali dibangun dengan merenggut kedaulatan pangan, air dan energi.”

Warga dari petani sampai nelayan yang terkena dampak buruk perusahaan yang beroperasi buruk. Foto: Sapariah Saturi


Label Ekonomi Hijau, Khawatir Makin Sengsarakan Rakyat was first posted on June 29, 2012 at 2:46 pm.

“Kembalikan Hutan Adat Kami…”

$
0
0

HUTAN masyarakat adat Dayak Punan yang masuk ‘kawasan’ PT Intracawood di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (Kaltim) seluas 23.139 hektare (ha). PT Intracawood, sudah menggarap dan mengambil kayu diperkirakan 15 ribu ha.

Kini, masyarakat adat harap-harap cemas. Perusahaan mau masuk lagi dan menggarap hutan yang masih tersisa. Masyarakat Punan tidak mau.

“Masyarakat adat tak mau. Kembalikan hutan adat kami. Kembalikan tanah adat kami. Semua. Yang sudah digarap maupun yang belum,” kata Anggota Komunitas Adat Dayak Punan, Kaharuddin kepada Mongabay, akhir Juni 2012.

Kaharuddin juga kepala Desa Punan Dalau. Dia mengatakan, masyarakat ingin lahan dan hutan mereka kembali. “Tolonglah pemerintah, perhatikan kami. Kami perlu bantuan…”

Warga sudah seringkali berusaha berkomunikasi dengan perusahaan, tetapi upaya itu seakan tak dihiraukan pihak bermodal besar ini. “Mereka menyalahkan pemerintah desa. Mereka anggap pemerintah tak bisa fasilitasi masyarakat.”

Konflik masyarakat dan perusahaan makin tajam. Banyak hak pengelolaan hutan perusahaan berada tumpang tindih dengan milik masyarakat lokal maupun masyarakat adat. Kala masyarakat dan perusahaan berhadapan, rakyat kerap kalah dan terpinggirkan. Foto: Rhett Butler

Menurut Kaharuddin, Maret lalu telah melaporkan sengketa lahan adat ini ke pemda provinsi. Lagi-lagi belum ada hasil.

“Juni ini kami didatangi Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan. Katanya mereka mau datang ke Bunan Dulau dan Ujang. Karena sudah diberitahu. Jadi ditunggu. Namun kedatangan mereka tak memuaskan.”

Mengapa? “Karena sepertinya mereka cenderung membela perusahaan. Kedatangan bukan duduk sebagai pemerintah. Mereka datangi dulu ke Tarakan, kantor perusahaan. Setelah dari Tarakan, mereka menginap juga di camp perusahaan. Besar kecurigaan masyarakat itu, karena tidak menginap di penginapan desa,” cerita Kaharuddin.

Bahkan, saat turun ke lapangan—menggunakan mobil dari perusahaan–, ketika warga berniat mengajak utusan Dinas Kehutanan ke lahan yang bersengketa, sopir berdalih mobil rusak.

“Padahal di KM 45 itu yang bermasalah dengan masyarakat adat.” Karena tak mau ke KM 45, Kaharuddin, menawar agar bisa ke KM 41. Lalu ke sana.

“Tidak lama di sana, lima menit. Bahasa dari dinas, bilang hanya meninjau. Nanti ditunggu hasil bupati yang beri kebijakan. Setelah itu tak ada cerita lagi sampai sekarang.”

Untuk itu, Kaharuddin dan masyarakat adat menuntut Pemerintah Kabupaten Bulungan agar menindaklanjuti kasus konflik lahan ini.

Menurut dia, masyarakat bersedia berembuk, bahkan meminta pemerintah mengajak perusahaan duduk bersama. “Karena kalau kita yang meminta ke perusahaan, perusahaan selalu meminta warga yang harus kalah.”

PT.Intracawood Manufacturing (Intraca) merupakan bagian dari Central Cipta Murdaya Grup(CCM). Tiga pemegang saham mayoritas intraca yaitu PT. Inhutani I (24%) PT.Altrac 78(49.5%) dan PT.Berca Indonesia (24.7%). PT Altrac dan Berca adalah milik CCM grup.

PT. Intracawood didirikan sebagai bisnis patungan dengan PT Inhutani I. Kegiatan mereka mengelola kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 226.326 ha. Perusahaan menggunakan tebang pilih dalam memasok log mentah ke industri kayu lapis Intraca di Tarakan.

Intracawood mendapat subkontraktor hak konsesi dari PT Inhutani I tahun 1988 dengan mengantongi izin jangka panjang selama 75 tahun. Setelah operasional dipertanyakan Menteri Kehutanan.

Lalu, tahun 2003 Menteri Kehutanan mengizinkan kembali beroperasi dengan izin baru selama 45tahun berdasarkan SK No. 335/Menhut-II/2004 tgl 31 agustus 2004, luas konsesi 195.110 ha. Konsesi ini meliputi tiga kabupaten, Bulungan, Berau dan Malinau.

Untuk kecamatan Sekatak konsesi PT Intacawood mencakup 23 kampung dihuni warga Dayak Tidung, Punan dan Belusu.

Menurut hasil laporan hasil tim penelitian SmartWood tahun 2006, pertengahan tahun 2002 – hingga pertengahan 2003, penyelesaian konflik dengan masyarakat setempat dengan mengeluarkan 30.000 ha berdasarkan klaim masyarakat.

Pada 25 januari 2003, ditandatanngani nota kesepakatan untuk mengembangkan penelitian hutan hujan dan program training antara PT Intracawood Manufacturing, Innoprise Corporation Sdn.Bhd, Sabah, Malaysia dan Royal Society Southeeast Asia Rainforest Research Programme, Inggris.

Atas izin pemerintah Indonesia dan Bupati Bulungan dipilih kawasan hutan primer Intracawood seluas 26,257 ha terletak dekat dengan kawasan konsesi untuk training dan ekoturisme.

Pada 2004 dalam SK hak pengusahaan hutan (HPH) ditandatangani Menteri Kehutanan disebutkan ekplisit perpaduan HCVF dalam pengelolaan hutan produksi.

Namun nota kesepahaman Royal Society Southeast Asia Rainforest Research Programme ditunda. Lembaga ini menunda bekerja sama dengan perusahaan yang tidak bersertifikat akibat dari tekanan Forest People Programme.

Margaretha Seting Beraan, pimpinan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, mengatakan, kenyataan, kawasan yang ditetapkan oleh PT Intraca sebagai kawasan konservasi itu bukan hutan primer. Namun, kawasan pemukiman dan wilayah jelajah warga Dayak Punan dan Belusu.

Penetapan kawasan itu, tanpa persetujuan dan komunikasi dengan warga pemilik kawasan. PT Intracawood mengabaikan prinsip-prinsip Free, prior and informed consent (FPIC) yang menjadi dasar penetapan kawasan HCVF ini.

Malah, masyarakat dilarang berburu, berladang dan merambah kawasan mereka sendiri. Pada tahun 2011 didirikan pos-pos penjagaan dalam kawasan itu untuk mengontrol keluar masuk warga.

Selama operasi dari 1988, beberapa persengketaan tenjadi antar masyarakat dengan perusahaan. Diakhiri perjanjian-perjanjian yang kebanyakan diingkari perusahaan.

Warga Punan dan Belusu merasa dibatasi di atas tanah sendiri. Pada 13 Maret lalu, dalam pertemuan dengan komisi II DPRD Kaltim, warga Punan dan Belusu menyampaikan beberapa tuntutan.

Pertama, pemerintah mencabut izin HPH PT Itracawood. Kedua, meminta pemerintah mengeluarkan kawasan masyarakat dari wilayah HCVF yang didirikan diatas tanah kas desa dan kawasan rambah masyarakat Punan dan Belusu di Kecamatan Sekatak.

Ketiga, pemerintah dan DPRD membentuk pansus penyelesaian agraria khusus dalam yang terjadi di wilayah masyarakat adat di Kaltim.

Permintaan masyarakat ini seakan berhembus bersama angin alias belum ada tindaklanjut yang berarti.

Saat ini, kata Kaharuddin, malah banyak warga terkena tuduhan illegal logging. “Mereka dianggap bersalah mengambil kayu di tempat yang biasa sejak dulu.”

Sekitar 17 warga dipolisikan, bahkan ada yang dipenjara dua kali. “Ini baru orang, belum kerugian seperti mesin yang dilenyapkan. Mesin katanya jadi barang bukti. Kasian kondisi masyarakat.”

“Tolong. Mohon pada pemerintah, nasib masyarakat adat Kecamatan Sekatak. Mereka jadi korban.”


“Kembalikan Hutan Adat Kami…” was first posted on July 1, 2012 at 8:36 pm.

Proyek REDD+ Kalteng Banyak Langgar Hak Masyarakat Adat

$
0
0

HAK-hak masyarakat lokal maupun masyarakat adat kerap terabaikan dalam pelaksanaan proyek Demonstration Activities–Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (DA-REDD+) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Misradi, warga Sei Ahas, Mantangai, Kapuas, Kalteng, mengatakan, di lapangan norma hak-hak Free Prior Inform Consent (FPIC) alias persetujuan bebas tanpa paksaan, kerap diabaikan. “Atau dilaksanakan dengan penafsiran sempit, baik itu hak mendapatkan informasi memadai, hak mengambil keputusan secara bebas, dan hak berpartisipasi penuh dalam proyek,” katanya. Misradi mengungkapkan ini dalam workshop membangun dan memperkuat inisiatif masyarakat dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 7 Juli.

Tindakan ini, katanya, melanggar serangkaian kebebasan dasar yang diakui dalam hukum hak asasi manusia nasional dan internasional. Termasuk hak berpendapat, hak atas informasi, hak berkumpul secara damai, dan hak berorganisasi. “Juga hak setara di depan hukum dan peradilan yang adil.”

Aksi Petak Danum dalam kampanye iklim. Foto: Teguh Surya

Misradi mengungkapkan, hak-hak mencari, mendapatkan dan menyebar informasi, di wilayah kerja Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) di tujuh desa, lima dusun, dua dukuh, seluas 120 ribu ribu hektare, banyak dilanggar. “Korban kebanyakan kaum perempuan,” ujar dia.

Mereka tak pernah mendapat informasi memadai terkait proyek DA-REDD atau REDD+. “Bagaimana pelaksanaan dan siapa pelaksana REDD+, lalu akibat-akibat negatif yang akan diterima serta keuntungan yang akan didapat? Mereka tak tahu.”

Alhasil, pelibatan masyarakat dalam mengambil keputusan dan persetujuan secara bebas tanpa paksaan, dalam proyek pembanguan dan investasi, sering dilanggar. Kondisi ini sudah berjalan sejak orde baru.

Kala orde baru pernah ada proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektare. “Ini juga tak melibatkan masyarakat.” Di Sei Ahas, kata Misradi, sebagian besar masyarakat tak pernah diajak konsultasi pemerintah pusat maupun daerah terkait rencana penetapan wilayah proyek DA-REDD. “Apalagi dimintai persetujuan.”

Masyarakat, baru mengetahui wilayah mereka jadi kawasan DA-REDD setelah para pegawai KFCP sosialisasi program pertengahan 2010. Hingga kini, meski sebagian warga dilibatkan penanaman pohon, namun mereka masih khawatir status kepemilikan tanah dan akses terhadap tanah dan hutan.

DA-REDD di Kalteng merupakan proyek kerja sama antara Indonesia-Australia untuk perubahan iklim atau Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Kevin Rudd, perdana menteri Australia menandatangani perjanjian ini, pada 13 Juni 2008.

Australia mengucurkan $40 juta Australia. Komposisinya, $10 juta Australia untuk persiapan REDD dan $30 juta Australia untuk pengembangan pilot project di Kapuas melalui KFCP. Ada dua misi dalam proyek ini. Pertama, menyusun model pendanaan menggunakan pendekatan berbasis inisiatif pasar carbon. Kedua, merumuskan rencana langkah-langkah pelaksanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Kebijakan pemerintah Australia, proyek ini harus menaati kewajiban-kewajiban HAM internasional, termasuk deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Dilaporkan Basri H.D, dari Penggiat Yayasan Petak Danum


Proyek REDD+ Kalteng Banyak Langgar Hak Masyarakat Adat was first posted on July 9, 2012 at 1:22 pm.

Kasus Tambang Gemala Borneo, Hentikan Kriminalisasi Warga

$
0
0

Jatam dan KontraS mendesak kepolisian menghentikan kriminalisasi terhadap warga dan aktivis yang menolak keberadaan tambang emas, PT Gemala Borneo Utama (PT GBU).

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyesalkan langkah Polda Maluku yang menetapkan Oyang Orlando Petrusz sebagai tersangka.

Oyang Orlando, salah satu tokoh masyarakat Maluku Barat Daya, yang selama ini aktif menyuarakan ketidakadilan dan perusakan lingkungan. Dia ditahan atas tuduhan kasus pencemaran nama baik Bupati Maluku Barat Daya.

Sebelumnya, 25 April 2012, sekitar jam 19.30 Oyang Orlando dianiaya dan ditikam dua orang tidak dikenal. Pada hari sama, peristiwa ini dilaporkan ke Polres Ambon.

“Namun hingga hari ini tidak ada perkembangan cukup berarti dilakukan Kepolisian Resort Ambon atas laporan itu,” kata Hendrik Siregar dari Jatam, Minggu(15/7/12).

Justru Polda Maluku pada 13 Juli 2012, menetapkan Oyang Orlando sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Bupati Maluku Barat Daya, Barnabas Orno.

Kriminalisasi tidak hanya terhadap Oyang Orlando, pada 28 Juni 2012, sebanyak 27 warga pulau Romang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Sektor Kisar Maluku Barat Daya.

“Mereka disangkakan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas perusahaan. Atas penetapan 27 tersangka ini, hampir 400 warga mendatangi Mapolsek Kisar dan bertahan hingga hari ini,” ucap Hendrik.

Dia mengatakan, kriminalisasi ini tak bisa dipisahkan dari upaya warga Pulau Romang menolak PT GBU beroperasi.
Penolakan warga, didasari kekhawatiran pertambangan akan merusak lingkungan hidup dan kelestarian alam pulau Romang dan sekitar.

Chrisbiantoro dari KontraS menambahkan, kriminalisasi ini berkait erat dengan upaya Oyang Orlando melaporkan kasus PT GBU yang memberi gratifikasi kepada Bupati Maluku Barat Daya.

Untuk itu, KontraS dan Jatam menyampaikan beberapa tuntutan. Pertama, Kapolda Maluku diminta menghentikan kriminalisasi terhadap Oyang Orlando.

Semestinya, polisi mendahulukan pelaporan penerimaan gratifikasi kepada Maluku Barat Daya, bukan menetapkan pelapor menjadi tersangka.

“Sikap polisi ini bertentangan dengan Surat Edaran Bareskrim Nomor B/345/III/2005/Bareskrim tertanggal 7 Maret 2005. Di sana menyatakan, Polri menetapkan perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan.”

Kedua, mendesak Kepolisian Resort Ambon, segera menindaklanjuti laporan penganiayaan dan penikaman Oyang Orlando. “Penyelesaian masalah laporan ini mempertaruhkan reputasi dan profesionalitas kepolisian dalam mengungkap tindak kejahatan yang menimpa masyarakat,” kata Chrisbiantoro.

Ketiga, mendesak Kepolisian Resort Kisar Maluku Barat Daya, membebaskan 27 warga Pulau Romang yang saat ini ditahan. Termasuk menghentikan intimidasi terhadap warga yang mengadvokasi penolakan tambang emas beroperasi di wilayah mereka.

Keempat, mendesak Komnas HAM segera menindaklanjuti laporan yang disampaikan warga.

Kelima, mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap Oyang Orlando. Juga warga Pulau Romang yang saat ini ditahan kepolisian.


Kasus Tambang Gemala Borneo, Hentikan Kriminalisasi Warga was first posted on July 15, 2012 at 3:40 pm.
Viewing all 129 articles
Browse latest View live